Semua
berawal dari sini...
“Kalo umur gue nggak panjang, gue titip nanti lo jagain
anak gue ya..”
Lidah saya seketika kelu setelah mendengar kalimat itu
terlontar dari kerabat dekat saya, MA namanya. Usianya sudah kepala tiga dan
berperawakan tinggi kurus. Saya hanya diam, tak menjawab permintaannya saat
itu. Ia pun berlalu, tanpa memberikan penjelasan apa-apa. Saya ditinggalkan
begitu saja dengan banyak tanda tanya yang menari-nari di kepala.
Menyadari bahwa MA jadi begitu tertutup dan berusaha
menghindar untuk bertemu saya, pun dengan orang lain, saya tetap bersikeras
mencari tahu. Akhirnya, RF yang merupakan istri MA mau bercerita. Saya ingat
betul. Hari itu langit begitu cerah. Namun mendung langsung berpayung di atas
kepala saya. Betapa tidak, ternyata MA dinyatakan oleh dokter mengidap AIDS, sementara RF juga
sudah terinfeksi HIV.
Selang beberapa minggu kemudian, saya kembali bertemu
dengan MA. Namun, ia sudah tidak lagi menghindari orang lain dan kembali
bersikap wajar seperti saat ia belum diberitahu dokter kalau ia mengidap AIDS.
Senyumnya pun lebih sumringah, penuh rasa percaya diri. Hal yang terpenting
adalah ia tidak lagi membahas soal kematian yang menyeramkan seperti
sebelumnya.
“Ternyata penyakit gue nggak seserem yang gue bayangin.
Dunia gue nggak akan kiamat cuma gara-gara gue kena AIDS. Masalah hidup-mati,
gue udah pasrah sama Tuhan, yang penting sekarang adalah gimana caranya gue
harus bisa terus bertahan hidup buat ngebesarin anak semata wayang gue.”
Lantas MA menceritakan pengalamannya saat tergabung dalam
sebuah kelompok HIV/AIDS bernama Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Koja Sehati
Plus yang berada di bawah naungan RSUD Koja, Rumah Sakit rujukan ARV[1]
untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di daerah Jakarta Utara.
HIV
(Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan segala
penyakit yang datang. Pada saat kekebalan tubuh kita mulai lemah, maka
timbullah masalah kesehatan. Gejala yang umumnya timbul antara lain demam,
batuk, diare yang terus-menerus. Kumpulan gejala penyakit akibat lemahnya
sistem kekebalan tubuh inilah yang disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency
Syndrome). (Spiritia, 2009:4)
Walaupun
begitu, tertular HIV (atau menjadi HIV-positif) bukan berarti orang tersebut
langsung jatuh sakit. Seseorang bisa hidup dengan HIV di dalam tubuhnya
bertahun-tahun lamanya tanpa merasa sakit atau mengalami gangguan kesehatan
yang serius. Lamanya masa sehat ini dipengaruhi oleh keinginan yang kuat dari
orang tersebut dan bagaimana orang tersebut menjaga kesehatan dengan pola hidup
yang sehat.
Para ilmuwan
umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS
telah menjadi wabah penyakit. AIDS
diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS
bekerja sama dengan WHO memperkirakan
bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama
kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981.
Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam
sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta
jiwa pada tahun 2005
saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari
jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.[2]
HIV dan AIDS memunculkan berbagai masalah pribadi dan
pertanyaan yang sulit terjawab seperti soal kesehatan, keuangan, kematian,
perkawinan, dsb. Pada akhirnya hal tersebut membawa dampak negatif bagi
siapapun pengidapnya, misalnya trauma, membisu, berprasangka, dan diskriminasi
yang sering terkait dengan penyakit ini.
Saya yang begitu dekat dengan MA dan
RF, tentunya tahu bagaimana masa-masa sulit di bulan-bulan awal mereka yang masih
sulit menerima kenyataan telah terinfeksi HIV/AIDS. Saya tahu betul, bagaimana
mereka jatuh bangun dan saling menguatkan yang dibantu pula oleh keberadaan
kelompok dukungan KDS Koja Sehati Plus. Saya yang merasa begitu dekat secara
emosional, pastinya sangat marah dan kecewa sekali ketika mengetahui beberapa
kerabat menjauhi mereka setelah tahu mereka telah terinfeksi. Bahkan, tak
sedikit secara sengaja atau tidak, melakukan perlakuan yang sangat
diskriminatif, sehingga melukai hati MA dan RF.
Oleh karena itu, saya memutuskan untuk bergabung
dalam KDS Koja Sehati Plus. Hati saya begitu mantap untuk menjadi OHIDHA[3].
Jadi saya ingin menggali ilmu dan pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang
HIV/AIDS. Namun yang menjadi hal terpenting adalah saya ingin membuktikan
kepada orang banyak, terutama kerabat dekat yang masih termakan stereotype
menyesatkan tentang HIV/AIDS. Saya ingin menunjukkan secara nyata bahwa bukan
menjadi suatu masalah bila kita berteman atau dekat dengan ODHA. HIV/AIDS tidak
akan menular jika kita berinteraksi dengan mereka lewat sentuhan, berbicara,
ataupun berpelukan. Besar harapan saya, makin banyak orang yang tak lagi awam bahwa
ODHA tidak seharusnya dijauhi. Mereka justru membutuhkan dukungan dan pelukan.
Kitalah yang harus membantu menguatkan.
Maka, di sinilah
saya...
Rabu, 15 Juni 2011, saya datang untuk pertama kalinya.
Saya langsung dikenalkan kepada seluruh ODHA yang ada di KDS Koja Sehati Plus.
Mereka sangat hangat penuh kekeluargaan. Terlebih saat tahu saya mau menjadi
OHIDHA, mereka begitu terbuka untuk berbagi informasi.
Selain
mengikuti kegiatan kelompok meski tidak selalu rutin, saya juga rajin datang ke
RSUD Koja untuk berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab KDS Koja Sehati
Plus, Dr. Ni Wayan Ani P, SpKJ. Melalui Dr. Wayan saya belajar banyak tentang
psikologis ODHA. Perihal bagaimana baiknya saya berkomunikasi dengan ODHA,
mengingat banyak dari mereka yang menjadi sangat sensitif bila bersinggungan
dengan penyakitnya.
Dalam
kelompok dukungan inilah saya juga menjadi dekat dengan beberapa ODHA lain.
Selain RF, saya juga dekat dengan DH dan WT. Kami sering berbagi cerita. Saya pun
belajar banyak dari pengalaman yang telah mereka kisahkan.
Kisah RF...
RF adalah seorang
ibu rumah tangga dengan satu orang anak laki-laki berusia dua tahun. Dalam
kesehariannya, RF merupakan sosok yang sabar dan legowo menerima semua
permasalahan dalam hidupnya. Ia bisa bersikap sangat acuh pada orang yang baru
ia kenal, tapi bisa dengan gampangnya terbuka tentang masalah hidupnya pada
orang yang sudah ia percaya.
Tidak pernah terlintas dalam benaknya
bahwa ia akan menjadi seorang ODHA seperti saat ini. Hidupnya berjalan biasa
saja sampai akhirnya ia berkenalan dengan MA. Mengatasnamakan cinta, RF
bersedia menerima MA yang mantan junkies.
Siapa
yang menyangka, perilaku MA yang pernah menggunakan narkoba ternyata menjadi bumerang bagi keduanya.
Beberapa bulan setelah menikah, MA seringkali jatuh sakit dan tak kunjung
sembuh meski sudah berganti-ganti dokter. Bermula dari sakit batuk, demam,
sakit kulit, hingga akhirnya sakit paru-paru. Merasa ada kejanggalan, dokter
paru-paru terakhirnya merujuk MA untuk melakukan Voluntary Counseling Test
(VCT)[4].
Dari
hasil tes tersebut, diketahui bahwa MA positif AIDS dengan CD4 yang sangat
rendah. CD4 adalah sejenis sel darah putih yang dipakai oleh HIV untuk
menggandakan diri dan kemudian dibunuhnya. Jumlah CD4 mencerminkan kesehatan
sistem kekebalan tubuh (Spiritia, 2009:45). RF sebagai istri pun diminta pula
oleh dokter untuk melakukan VCT. Ternyata hasil tes juga menunjukkan bahwa ia
telah terinfeksi HIV dan kemungkinan besar tertular dari MA melalui hubungan
suami istri.
“Sebenernya udah feeling juga sih kalo gue bakalan
positif juga. Soalnya MA kan udah positif udah mana dia CD4 nya rendaaaaah
banget waktu itu. Bener ternyata hasilnya positif...”[5]
Kisah DH...
Sebagai seorang
ibu dengan tiga anak, DH mengetahui bahwa ia terinfeksi bermula dari almarhum
suaminya yang dirawat di Rumah Sakit Koja karena menderita diare akut dan
infeksi paru-paru. Setelah pemeriksaan, ternyata almarhum suaminya dinyatakan
dokter telah positif AIDS. DH dan ketiga anaknya pun harus melakukan
pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut akhirnya DH mengetahui bahwa
dirinya beserta anak kedua dan ketiganya juga telah terinfeksi HIV.
Tak pernah terbayangkan dalam benak
DH bahwa ia akan tertular HIV dari suaminya. Diakuinya, tidak pernah ada hal
yang mencurigakan dari suaminya selama ini. Siapa menyangka, bahwa suaminya
pernah terjerumus narkoba. Ia baru mengetahui hal tersebut tak lama setelah
suaminya dinyatakan positif terinfeksi HIV. Itupun ia ketahui dari kakak
iparnya.
“Pas tahu
hasilnya, aku mau marah banget rasanya sama suami. Pengen maki-maki,
sebeeeeeeel banget. Tapi aku nggak tega juga dia lagi sakit gitu di rawat kan.
Mau teriak sekenceng-kencengnya rasanya tapi nggak bisa. Teriak aja d dalam
hati. Yang pasti aku nangis, Mbak, karena aku ngerasa sendiri di dunia ini.”[6]
DH
termasuk orang yang beruntung karena keluarganya mendukung dan tidak
mendiskriminasikan dirinya yang telah terinfeksi. Namun, penolakan sempat ia
terima dari keluarga almarhum suami dan tetangganya. Keluarga dari pihak suami
justru menjauhi DH dan ketiga anaknya karena merasa takut tertular. Hingga saat
ini, mereka seringkali pura-pura tidak mengenali DH jika tanpa sengaja berpapasan
di jalan. Begitu pun dengan tetangga DH, mereka langsung menjauhi keluarga DH
karena yakin DH dan anak-anaknya pasti juga telah terinfeksi.
“...Waktu suami aku meninggal, pada rame Mbak tetangga
aku banyak yang ngomongin kalo suami aku kena AIDS. ... Dulu sebelum tahu aku
positif, tetangga pada baik-baik, Mbak. Tapi pas tahu aku sama anak-anak
terinfeksi mereka berubah sikap jadi mulai menjauh juga. Mungkin karena mereka
takut tertular juga.”[7]
Kisah WT...
Pria keturunan
Jawa ini merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Tinggal terpisah dengan
orang tua sejak lulus SMA membuatnya mandiri untuk berjuang keras bertahan
hidup. Berawal dari pekerjaannya sebagai pramusaji di sebuah restoran, ia pun
memiliki pekerjaan sampingan yang “tidak biasa”. Wajahnya yang tampan dan
ketertarikannya pada sesama jenis, dijadikan sarana agar ia bisa mendapatkan
penghasilan tambahan.
WT pertama kali mengetahui bahwa
dirinya telah terinfeksi di awal tahun 2009 ketika ia tergabung dalam sebuah
Yayasan khusus untuk kaum gay. Dalam Yayasan tersebut terdapat sebuah dokter
keliling yang rutin melakukan pemeriksaan setiap enam bulan sekali. Sejak
dinyatakan positif, WT berhenti melakukan pekerjaan sampingannya dan memilih
untuk fokus di Yayasan dan kemudian bergabung dengan KDS Koja Sehati Plus.
Dengan pertimbangan yang matang,
akhirnya WT memberanikan diri untuk membuka statusnya kepada keluarga.
Beruntung, pihak keluarga tidak ada yang menjauhinya. Selain itu, WT juga
memberanikan diri bercerita pada kekasihnya. WT bersyukur kekasihnya memutuskan
untuk tetap bersamanya sampai saat ini. WT pun menjaga kekasihnya dengan safety
sex menggunakan kondom dan rutin melakukan pemeriksaan HIV/AIDS untuk
kekasihnya supaya tidak tertular.
“Aku
ngasih tahunya pas udah pacaran dua bulan. ... Aku sih nyuruh dia terus buat
ngecek. ... Pokoknya ikut tes dari yang biasa-biasa aja sampe yang bener-bener
bayar, untung hasilnya selalu negatif. Semoga terus-terusan negatif. Aku kalo ‘maen’
sama dia emang selalu ngutamain safety.”[8]
Be Safety, please...
Itu beberapa kisah yang saya temui. Kebanyakan anggota di
KDS Koja Sehati Plus ini memang perempuan. Sangat disayangkan, hampir semuanya
terinfeksi dari pasangan mereka. Tidak
bisa dipungkiri, sebagai sesama perempuan, saya merasa begitu sedih. Bahkan
mengingat keluh-kesah mereka selalu membuat saya sukses hujan di pelupuk mata.
Rasanya ingin marah kepada pasangan mereka dan bertanya, “Kenapa kamu begitu
tega menularkannya?”
Itu saya.
Bayangkan bagaimana perasaan mereka saat pertama kali tahu telah terinfeksi.
Beberapa bilang, rasanya seperti dunia runtuh di depan mata. Tak sedikit pula
yang mau lebih cepat mengakhiri hidupnya. Butuh keteguhan dan keikhlasan hati
yang besar untuk menerima. Dan mereka semua sudah memiliki itu. Tidak ada
penyesalan atau menyalahkan pasangan yang telah menularkan. Mereka justru
bahu-membahu untuk saling menguatkan. Pun yang telah ditinggalkan, mereka masih
punya segudang alasan untuk tetap bertahan.
Seperti
yang sudah saya tulis di awal, banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari kisah
hidup mereka. Selain keteguhan dan keikhlasan hati, saya jadi begitu menyadari
bahwa keberadaan kondom sangatlah penting, terutama sebagai alat perlindungan
diri saat melakukan hubungan dengan pasangan. Terlepas dari anggapan beberapa
orang yang berfikir sosialisasi kondom justru berjerumus pada kemaksiatan, kita
tetap tidak bisa memungkiri kalau keberadaan kondom memang sangat diperlukan.
Penggunaan
kondom untuk sesama ODHA saja sangat penting. Hal tersebut dipaparkan secara
jelas oleh Dr. Ni Wayan Ani P, SpKJ., “Jika
pasangan sama-sama positif dalam artian mereka berdua adalah ODHA, maka dalam
berhubungan intim pun mereka wajib untuk tetap menggunakan kondom. Kenapa?
Karena tipe virus yang dimiliki oleh masing-masing ODHA itu tidak selalu sama.
Berbeda. Jika mereka berhubungan tanpa menggunakan kondom, maka penularan akan
terjadi kembali. Yang ditularkan lagi adalah tipe virus yang berbeda tadi. Jadi
virus yang dimiliki si suami bisa pindah ke istri, begitupun sebaliknya. Jika
terus-terusan, tentunya akan menjadi suatu hal yang bisa membahayakan.”
Kisah WT
mungkin bisa untuk dijadikan panutan. Dalam konteks, dia tahu kalau dia telah
terinfeksi. Dia begitu sayang pada pasangannya. Oleh karena itu, ia sangat
menjaga pasangannya dengan melakukan safety sex menggunakan kondom.
Selain itu dia juga rutin melakukan pemeriksaan. Sampai detik ini, hasil
pemeriksaan terhadap pasangan WT selalu negatif. Dan semoga seterusnya begitu.
See?
Bagi ODHA saja itu sangat penting. Bagaimana dengan saya, kamu, dengan kita? Tanpa
bermaksud mendahului takdir, bayangkan, berapa banyak kepala yang bisa
diselamatkan, yang bisa terhindar infeksi HIV/AIDS akibat tertular dari
pasangan, jika saja mereka mau menggunakan kondom. Jika selama ini kamu merasa
bahwa kamu sudah hidup sehat, jauh dari narkoba, dan berkomitmen untuk setia
pada pasangan, jangan dulu merasa senang. Lihat kembali kasus yang dialami oleh
DW. Ia melakukan hal yang baru saja saya tulis di kalimat sebelumnya. Namun,
tak ada yang bisa menjamin kalau pasangan kita juga melakukan hal yang sama
kan?
Terlebih
jika kamu, yang secara sengaja atau tidak menemukan dan membaca tulisan ini,
sudah menyadari kalau kamu pernah melakukan hal-hal yang bisa memicu HIV/AIDS. Penting
untuk kamu menggunakan kondom jika ‘berhubungan’. Jangan pernah merasa takut untuk
segera memeriksakan diri demi kesehatan kamu dan pasangan. MA, kerabat dekat
saya yangs aya ceritakan di awal, merasa begitu bersalah dan menyesal sampai
dengan detik ini karena telah menularkan HIV kepada RF. Kamu tidak mau
mengalami hal yang sama kan?
Saya berharap, kamu yang membaca
tulisan ini jadi begitu tergugah untuk menyadari bahwa penggunaan kondom itu
penting untuk menjaga diri sendiri dan pasangan. Bukan penting untuk ODHA saja,
tapi juga untuk kita semua. Saya sangat percaya, tak ada satu orang pun di
dunia ini yang mau terinfeksi HIV/AIDS, yang membuat ODHA harus rutin minum
obat sampai mereka menutup usia. Oleh karena itu, mari kita lakukan yang kita
bisa untuk membantu mengurangi jumlahnya dari sekarang.
Ingat, JAUHI VIRUSNYA, BUKAN ORANGNYA!
Salah satu caranya adalah dengan setia kepada pasangan. Gunakan kondom sebagai
salah satu wujud kasih sayang. So, don’t forget to be safety with use ur condom,
please...
Catatan :
- >> Beberapa data dari tulisan ini diambil dari skripsi saya berjudul
“Konstruksi Pengalaman ODHA dalam Berkelompok.”
- >> Narasumber MA, RF, DW, dan WT telah memberikan izin untuk menuliskan kisah
mereka dengan catatan identitas telah disamarkan.
[1] ARV atau Antiretroviral adalah obat yang digunakan untuk mengobati
retrovirus seperti HIV, untuk menghambat perkembangbiakannya.
http://id.termwiki.com/EN:antiretroviral_therapy_%28ART%29 diakses pada tanggal 28 November 2011 pukul 10:57 WIB
[3] OHIDHA : Orang
yang tidak terinfeksi HIV/AIDS (HIV-negatif) namun hidup berdampingan dengan
ODHA. Misal: keluarga, pasangan hidup, kerabat, dll.
[4] Proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV
secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini
membantu orang mengetahui status HIV (http://kpa-provsu.org/vct.php) diakses pada tanggal 13 September 2011 pukul 22.18