Copyright © ...Pecinta Kata dan Senja...
Design by Dzignine
Senin, 07 Januari 2013

Saatnya Peduli untuk Melindungi Diri


Semua berawal dari sini...
“Kalo umur gue nggak panjang, gue titip nanti lo jagain anak gue ya..”
Lidah saya seketika kelu setelah mendengar kalimat itu terlontar dari kerabat dekat saya, MA namanya. Usianya sudah kepala tiga dan berperawakan tinggi kurus. Saya hanya diam, tak menjawab permintaannya saat itu. Ia pun berlalu, tanpa memberikan penjelasan apa-apa. Saya ditinggalkan begitu saja dengan banyak tanda tanya yang menari-nari di kepala.
Menyadari bahwa MA jadi begitu tertutup dan berusaha menghindar untuk bertemu saya, pun dengan orang lain, saya tetap bersikeras mencari tahu. Akhirnya, RF yang merupakan istri MA mau bercerita. Saya ingat betul. Hari itu langit begitu cerah. Namun mendung langsung berpayung di atas kepala saya. Betapa tidak, ternyata MA dinyatakan  oleh dokter mengidap AIDS, sementara RF juga sudah terinfeksi HIV.
Selang beberapa minggu kemudian, saya kembali bertemu dengan MA. Namun, ia sudah tidak lagi menghindari orang lain dan kembali bersikap wajar seperti saat ia belum diberitahu dokter kalau ia mengidap AIDS. Senyumnya pun lebih sumringah, penuh rasa percaya diri. Hal yang terpenting adalah ia tidak lagi membahas soal kematian yang menyeramkan seperti sebelumnya.
“Ternyata penyakit gue nggak seserem yang gue bayangin. Dunia gue nggak akan kiamat cuma gara-gara gue kena AIDS. Masalah hidup-mati, gue udah pasrah sama Tuhan, yang penting sekarang adalah gimana caranya gue harus bisa terus bertahan hidup buat ngebesarin anak semata wayang gue.”
Lantas MA menceritakan pengalamannya saat tergabung dalam sebuah kelompok HIV/AIDS bernama Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) Koja Sehati Plus yang berada di bawah naungan RSUD Koja, Rumah Sakit rujukan ARV[1] untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di daerah Jakarta Utara.
          HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan segala penyakit yang datang. Pada saat kekebalan tubuh kita mulai lemah, maka timbullah masalah kesehatan. Gejala yang umumnya timbul antara lain demam, batuk, diare yang terus-menerus. Kumpulan gejala penyakit akibat lemahnya sistem kekebalan tubuh inilah yang disebut AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome). (Spiritia, 2009:4)
          Walaupun begitu, tertular HIV (atau menjadi HIV-positif) bukan berarti orang tersebut langsung jatuh sakit. Seseorang bisa hidup dengan HIV di dalam tubuhnya bertahun-tahun lamanya tanpa merasa sakit atau mengalami gangguan kesehatan yang serius. Lamanya masa sehat ini dipengaruhi oleh keinginan yang kuat dari orang tersebut dan bagaimana orang tersebut menjaga kesehatan dengan pola hidup yang sehat.          
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.[2]

            HIV dan AIDS memunculkan berbagai masalah pribadi dan pertanyaan yang sulit terjawab seperti soal kesehatan, keuangan, kematian, perkawinan, dsb. Pada akhirnya hal tersebut membawa dampak negatif bagi siapapun pengidapnya, misalnya trauma, membisu, berprasangka, dan diskriminasi yang sering terkait dengan penyakit ini.
         Saya yang begitu dekat dengan MA dan RF, tentunya tahu bagaimana masa-masa sulit di bulan-bulan awal mereka yang masih sulit menerima kenyataan telah terinfeksi HIV/AIDS. Saya tahu betul, bagaimana mereka jatuh bangun dan saling menguatkan yang dibantu pula oleh keberadaan kelompok dukungan KDS Koja Sehati Plus. Saya yang merasa begitu dekat secara emosional, pastinya sangat marah dan kecewa sekali ketika mengetahui beberapa kerabat menjauhi mereka setelah tahu mereka telah terinfeksi. Bahkan, tak sedikit secara sengaja atau tidak, melakukan perlakuan yang sangat diskriminatif, sehingga melukai hati MA dan RF.
         Oleh karena itu, saya memutuskan untuk bergabung dalam KDS Koja Sehati Plus. Hati saya begitu mantap untuk menjadi OHIDHA[3]. Jadi saya ingin menggali ilmu dan pengetahuan sebanyak-banyaknya tentang HIV/AIDS. Namun yang menjadi hal terpenting adalah saya ingin membuktikan kepada orang banyak, terutama kerabat dekat yang masih termakan stereotype menyesatkan tentang HIV/AIDS. Saya ingin menunjukkan secara nyata bahwa bukan menjadi suatu masalah bila kita berteman atau dekat dengan ODHA. HIV/AIDS tidak akan menular jika kita berinteraksi dengan mereka lewat sentuhan, berbicara, ataupun berpelukan. Besar harapan saya, makin banyak orang yang tak lagi awam bahwa ODHA tidak seharusnya dijauhi. Mereka justru membutuhkan dukungan dan pelukan. Kitalah yang harus membantu menguatkan.

Maka, di sinilah saya...
Rabu, 15 Juni 2011, saya datang untuk pertama kalinya. Saya langsung dikenalkan kepada seluruh ODHA yang ada di KDS Koja Sehati Plus. Mereka sangat hangat penuh kekeluargaan. Terlebih saat tahu saya mau menjadi OHIDHA, mereka begitu terbuka untuk berbagi informasi.
         Selain mengikuti kegiatan kelompok meski tidak selalu rutin, saya juga rajin datang ke RSUD Koja untuk berkonsultasi dengan dokter penanggung jawab KDS Koja Sehati Plus, Dr. Ni Wayan Ani P, SpKJ. Melalui Dr. Wayan saya belajar banyak tentang psikologis ODHA. Perihal bagaimana baiknya saya berkomunikasi dengan ODHA, mengingat banyak dari mereka yang menjadi sangat sensitif bila bersinggungan dengan penyakitnya.
         Dalam kelompok dukungan inilah saya juga menjadi dekat dengan beberapa ODHA lain. Selain RF, saya juga dekat dengan DH dan WT. Kami sering berbagi cerita. Saya pun belajar banyak dari pengalaman yang telah mereka kisahkan.

Kisah RF...
RF adalah seorang ibu rumah tangga dengan satu orang anak laki-laki berusia dua tahun. Dalam kesehariannya, RF merupakan sosok yang sabar dan legowo menerima semua permasalahan dalam hidupnya. Ia bisa bersikap sangat acuh pada orang yang baru ia kenal, tapi bisa dengan gampangnya terbuka tentang masalah hidupnya pada orang yang sudah ia percaya.
          Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia akan menjadi seorang ODHA seperti saat ini. Hidupnya berjalan biasa saja sampai akhirnya ia berkenalan dengan MA. Mengatasnamakan cinta, RF bersedia menerima MA yang mantan junkies.
Siapa yang menyangka, perilaku MA yang pernah menggunakan narkoba  ternyata menjadi bumerang bagi keduanya. Beberapa bulan setelah menikah, MA seringkali jatuh sakit dan tak kunjung sembuh meski sudah berganti-ganti dokter. Bermula dari sakit batuk, demam, sakit kulit, hingga akhirnya sakit paru-paru. Merasa ada kejanggalan, dokter paru-paru terakhirnya merujuk MA untuk melakukan Voluntary Counseling Test (VCT)[4].
Dari hasil tes tersebut, diketahui bahwa MA positif AIDS dengan CD4 yang sangat rendah. CD4 adalah sejenis sel darah putih yang dipakai oleh HIV untuk menggandakan diri dan kemudian dibunuhnya. Jumlah CD4 mencerminkan kesehatan sistem kekebalan tubuh (Spiritia, 2009:45). RF sebagai istri pun diminta pula oleh dokter untuk melakukan VCT. Ternyata hasil tes juga menunjukkan bahwa ia telah terinfeksi HIV dan kemungkinan besar tertular dari MA melalui hubungan suami istri.
“Sebenernya udah feeling juga sih kalo gue bakalan positif juga. Soalnya MA kan udah positif udah mana dia CD4 nya rendaaaaah banget waktu itu. Bener ternyata hasilnya positif...”[5]
           
Kisah DH...
Sebagai seorang ibu dengan tiga anak, DH mengetahui bahwa ia terinfeksi bermula dari almarhum suaminya yang dirawat di Rumah Sakit Koja karena menderita diare akut dan infeksi paru-paru. Setelah pemeriksaan, ternyata almarhum suaminya dinyatakan dokter telah positif AIDS. DH dan ketiga anaknya pun harus melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan tersebut akhirnya DH mengetahui bahwa dirinya beserta anak kedua dan ketiganya juga telah terinfeksi HIV.
           Tak pernah terbayangkan dalam benak DH bahwa ia akan tertular HIV dari suaminya. Diakuinya, tidak pernah ada hal yang mencurigakan dari suaminya selama ini. Siapa menyangka, bahwa suaminya pernah terjerumus narkoba. Ia baru mengetahui hal tersebut tak lama setelah suaminya dinyatakan positif terinfeksi HIV. Itupun ia ketahui dari kakak iparnya.
“Pas tahu hasilnya, aku mau marah banget rasanya sama suami. Pengen maki-maki, sebeeeeeeel banget. Tapi aku nggak tega juga dia lagi sakit gitu di rawat kan. Mau teriak sekenceng-kencengnya rasanya tapi nggak bisa. Teriak aja d dalam hati. Yang pasti aku nangis, Mbak, karena aku ngerasa sendiri di dunia ini.”[6]

            DH termasuk orang yang beruntung karena keluarganya mendukung dan tidak mendiskriminasikan dirinya yang telah terinfeksi. Namun, penolakan sempat ia terima dari keluarga almarhum suami dan tetangganya. Keluarga dari pihak suami justru menjauhi DH dan ketiga anaknya karena merasa takut tertular. Hingga saat ini, mereka seringkali pura-pura tidak mengenali DH jika tanpa sengaja berpapasan di jalan. Begitu pun dengan tetangga DH, mereka langsung menjauhi keluarga DH karena yakin DH dan anak-anaknya pasti juga telah terinfeksi.
“...Waktu suami aku meninggal, pada rame Mbak tetangga aku banyak yang ngomongin kalo suami aku kena AIDS. ... Dulu sebelum tahu aku positif, tetangga pada baik-baik, Mbak. Tapi pas tahu aku sama anak-anak terinfeksi mereka berubah sikap jadi mulai menjauh juga. Mungkin karena mereka takut tertular juga.”[7]

Kisah WT...
Pria keturunan Jawa ini merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Tinggal terpisah dengan orang tua sejak lulus SMA membuatnya mandiri untuk berjuang keras bertahan hidup. Berawal dari pekerjaannya sebagai pramusaji di sebuah restoran, ia pun memiliki pekerjaan sampingan yang “tidak biasa”. Wajahnya yang tampan dan ketertarikannya pada sesama jenis, dijadikan sarana agar ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan.
          WT pertama kali mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi di awal tahun 2009 ketika ia tergabung dalam sebuah Yayasan khusus untuk kaum gay. Dalam Yayasan tersebut terdapat sebuah dokter keliling yang rutin melakukan pemeriksaan setiap enam bulan sekali. Sejak dinyatakan positif, WT berhenti melakukan pekerjaan sampingannya dan memilih untuk fokus di Yayasan dan kemudian bergabung dengan KDS Koja Sehati Plus.
          Dengan pertimbangan yang matang, akhirnya WT memberanikan diri untuk membuka statusnya kepada keluarga. Beruntung, pihak keluarga tidak ada yang menjauhinya. Selain itu, WT juga memberanikan diri bercerita pada kekasihnya. WT bersyukur kekasihnya memutuskan untuk tetap bersamanya sampai saat ini. WT pun menjaga kekasihnya dengan safety sex menggunakan kondom dan rutin melakukan pemeriksaan HIV/AIDS untuk kekasihnya supaya tidak tertular.
            “Aku ngasih tahunya pas udah pacaran dua bulan. ... Aku sih nyuruh dia terus buat ngecek. ... Pokoknya ikut tes dari yang biasa-biasa aja sampe yang bener-bener bayar, untung hasilnya selalu negatif. Semoga terus-terusan negatif. Aku kalo ‘maen’ sama dia emang selalu ngutamain safety.[8]

Be Safety, please...
Itu beberapa kisah yang saya temui. Kebanyakan anggota di KDS Koja Sehati Plus ini memang perempuan. Sangat disayangkan, hampir semuanya terinfeksi dari pasangan mereka.  Tidak bisa dipungkiri, sebagai sesama perempuan, saya merasa begitu sedih. Bahkan mengingat keluh-kesah mereka selalu membuat saya sukses hujan di pelupuk mata. Rasanya ingin marah kepada pasangan mereka dan bertanya, “Kenapa kamu begitu tega menularkannya?”
         Itu saya. Bayangkan bagaimana perasaan mereka saat pertama kali tahu telah terinfeksi. Beberapa bilang, rasanya seperti dunia runtuh di depan mata. Tak sedikit pula yang mau lebih cepat mengakhiri hidupnya. Butuh keteguhan dan keikhlasan hati yang besar untuk menerima. Dan mereka semua sudah memiliki itu. Tidak ada penyesalan atau menyalahkan pasangan yang telah menularkan. Mereka justru bahu-membahu untuk saling menguatkan. Pun yang telah ditinggalkan, mereka masih punya segudang alasan untuk tetap bertahan.
         Seperti yang sudah saya tulis di awal, banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari kisah hidup mereka. Selain keteguhan dan keikhlasan hati, saya jadi begitu menyadari bahwa keberadaan kondom sangatlah penting, terutama sebagai alat perlindungan diri saat melakukan hubungan dengan pasangan. Terlepas dari anggapan beberapa orang yang berfikir sosialisasi kondom justru berjerumus pada kemaksiatan, kita tetap tidak bisa memungkiri kalau keberadaan kondom memang sangat diperlukan.
         Penggunaan kondom untuk sesama ODHA saja sangat penting. Hal tersebut dipaparkan secara jelas oleh  Dr. Ni Wayan Ani P, SpKJ., “Jika pasangan sama-sama positif dalam artian mereka berdua adalah ODHA, maka dalam berhubungan intim pun mereka wajib untuk tetap menggunakan kondom. Kenapa? Karena tipe virus yang dimiliki oleh masing-masing ODHA itu tidak selalu sama. Berbeda. Jika mereka berhubungan tanpa menggunakan kondom, maka penularan akan terjadi kembali. Yang ditularkan lagi adalah tipe virus yang berbeda tadi. Jadi virus yang dimiliki si suami bisa pindah ke istri, begitupun sebaliknya. Jika terus-terusan, tentunya akan menjadi suatu hal yang bisa membahayakan.”
         Kisah WT mungkin bisa untuk dijadikan panutan. Dalam konteks, dia tahu kalau dia telah terinfeksi. Dia begitu sayang pada pasangannya. Oleh karena itu, ia sangat menjaga pasangannya dengan melakukan safety sex menggunakan kondom. Selain itu dia juga rutin melakukan pemeriksaan. Sampai detik ini, hasil pemeriksaan terhadap pasangan WT selalu negatif. Dan semoga seterusnya begitu.
         See? Bagi ODHA saja itu sangat penting. Bagaimana dengan saya, kamu, dengan kita? Tanpa bermaksud mendahului takdir, bayangkan, berapa banyak kepala yang bisa diselamatkan, yang bisa terhindar infeksi HIV/AIDS akibat tertular dari pasangan, jika saja mereka mau menggunakan kondom. Jika selama ini kamu merasa bahwa kamu sudah hidup sehat, jauh dari narkoba, dan berkomitmen untuk setia pada pasangan, jangan dulu merasa senang. Lihat kembali kasus yang dialami oleh DW. Ia melakukan hal yang baru saja saya tulis di kalimat sebelumnya. Namun, tak ada yang bisa menjamin kalau pasangan kita juga melakukan hal yang sama kan?
         Terlebih jika kamu, yang secara sengaja atau tidak menemukan dan membaca tulisan ini, sudah menyadari kalau kamu pernah melakukan hal-hal yang bisa memicu HIV/AIDS. Penting untuk kamu menggunakan kondom jika ‘berhubungan’. Jangan pernah merasa takut untuk segera memeriksakan diri demi kesehatan kamu dan pasangan. MA, kerabat dekat saya yangs aya ceritakan di awal, merasa begitu bersalah dan menyesal sampai dengan detik ini karena telah menularkan HIV kepada RF. Kamu tidak mau mengalami hal yang sama kan?
          Saya berharap, kamu yang membaca tulisan ini jadi begitu tergugah untuk menyadari bahwa penggunaan kondom itu penting untuk menjaga diri sendiri dan pasangan. Bukan penting untuk ODHA saja, tapi juga untuk kita semua. Saya sangat percaya, tak ada satu orang pun di dunia ini yang mau terinfeksi HIV/AIDS, yang membuat ODHA harus rutin minum obat sampai mereka menutup usia. Oleh karena itu, mari kita lakukan yang kita bisa untuk membantu mengurangi jumlahnya dari sekarang.
          Ingat, JAUHI VIRUSNYA, BUKAN ORANGNYA! Salah satu caranya adalah dengan setia kepada pasangan. Gunakan kondom sebagai salah satu wujud kasih sayang. So, don’t forget to be safety with use ur condom, please...








Catatan :
-   >> Beberapa data dari tulisan ini diambil dari skripsi saya berjudul “Konstruksi Pengalaman ODHA dalam Berkelompok.”
-     >>  Narasumber MA, RF, DW, dan WT telah memberikan izin untuk menuliskan kisah mereka dengan catatan identitas telah disamarkan.




[1] ARV atau Antiretroviral adalah obat yang digunakan untuk mengobati retrovirus seperti HIV, untuk menghambat perkembangbiakannya.
   http://id.termwiki.com/EN:antiretroviral_therapy_%28ART%29 diakses pada tanggal 28 November 2011 pukul 10:57 WIB
[2]  id.wikipedia.org/wiki/AIDS diakses pada tanggal  13 Mei 2010 pukul 3:24 WIB
[3] OHIDHA : Orang yang tidak terinfeksi HIV/AIDS (HIV-negatif) namun hidup berdampingan dengan ODHA. Misal: keluarga, pasangan hidup, kerabat, dll.
[4] Proses konseling pra testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV (http://kpa-provsu.org/vct.php) diakses pada tanggal 13 September 2011 pukul 22.18
[5] Wawancara dengan RO pada 19 Juli 2011
[6] Wawacara dengan DH pada 28 Juli 2011
[7] Wawancara dengan DH pada 3 Agustus 2011
[8] Wawancara dengan WT pada 19 September 2011