Copyright © ...Pecinta Kata dan Senja...
Design by Dzignine
Senin, 30 Agustus 2010

aku. senja. dan bintang.

-->
            Juli kali ini tak biasa. Tak sama dengan Juli-Juli sebelumnya. Juli telah mengubah banyak hal yang aku sendiri kadang sulit untuk mengerti bagaimana harus kulewati bulan setelah Juli.
            Di Juli kemarin, aku berkelana jauh ke sebuah tempat jauh dari kota. Di sana, aku tidak bisa bertemu dengan senja. Melihatnya pun sulit karena senja terlihat mendung, bukan berwarna kemerahan seperti di Jakarta. Bahkan seringkali senja dirundung badai yang membuat sinyal-sinyal provider telepon seluler kacau tak karuan. Aku pun lantas menjadi urung bercerita pada senja. Karena aku terlanjur kecewa pada senja yang selalu mendung. Akupun mulai tergoda melihat bintang. Aku sungguh tidak bisa membohongi diri bahwa bintang yang bertaburan penuh cahaya di langit itu sangat indah. Belum lagi jika berdampingan dengan bulan yang berkilau bulat penuh. Keindahannya (mungkin) mengalahkan senja. Ya, aku terpesona dengan bintang. Terlena untuk terus menatapnya dan berharap malam tak cepat hilang. Biar aku puas memandangi bintang tanpa bosan.
            Hampir tiap malam aku menunggui bintang sampai tak peduli lagi pada senja yang terlewat di sore harinya. Aku lebih memilih menghabiskan waktu bersama bintang yang selalu memberiku rasa nyaman dengan cahayanya yang banyak itu. Ya, aku nyaman dengan bintang dan aku mulai lupa pada senja. Ketika senja mulai berwarna kemerahan lagi, aku justru tak peduli.


            Namun, nampaknya senja tak ingin aku pergi. Ia bertanya mengapa aku tak pernah bercerita lagi padanya. Aku diam sesaat lalu menjawab “Maaf senja, kamu bukan lagi tempat peraduan untukku pulang. Lantas, masih haruskah janji-janji ditepati?? Tidak akan ada cerita lagi untukmu, senja..” senja gusar. Ia langsung menampakkan langitnya yang paling merah. Sangat merah menyala seperti darah. Aku hanya diam. Aku tahu senja akan pergi tak lama lagi. Dan aku berjanji untuk tidak peduli saat dia pergi. Aku takkan mengemis pada senja untuk kembali. Tidak ada tangis. Tidak ada tawa. Diam saja. Itu cukup.
            Lalu aku pun mencoba setia pada bintang. Menghabiskan banyak malam dengan bercerita banyak hal padanya. Aku sayang pada bintang, dan aku akan sangat kecewa saat bintang tidak datang karena terhalang hujan. Namun aku selalu mencoba mengerti dan bersabar menunggu bintang kembali bersinar di malam-malam berikutnya. Setia menunggunya datang untuk bersama-sama lagi menghabiskan malam.
            Pernah sesekali aku mengintip senja di sore hari. Langitnya masih berwarna merah darah. Biarlah. Aku tak mau lagi mengusik senja, dan aku makin tak mau tahu lagi senja berwarna apa di tiap sorenya.
            Tapi tak pernah ku sangka senja memilih untuk kembali tanpa aku meminta kepadanya. Ia tawarkan lagi pesonanya yang kemerahan dengan siluet senja yang mengagumkan.  Kali ini kemerahan, bukan mendung atau merah darah menyala seperti kemarin-kemarin. Tak hanya itu, ia juga menceritakan tentang dongeng akasia di bulan Juni untukku. Dongeng yang selama ini ia rahasiakan untuk dibagi denganku. Dongeng yang selama ini ingin aku curi tapi aku tak pernah mampu. Ah, senja. Aku harus bilang apa lagi padamu sekarang? Karena aku tak mungkin meninggalkan bintang. Aku akan sangat kesepian tanpa bintang. Dan jalan malamku akan gelap jika bintang tidak datang.
            Akupun berakhir dalam tanda tanya. Berdiri di antara hari setelah senja dan sebelum malam datang dengan taburan bintang.

                                                                        
27 Agustus 2010, primajasa menuju Jakarta