Menjumpaimu
pada senja yang mulai temaram hendak menjemput malam. Engkau membuka pintu
dengan tatapan yang entah menuju kemana. Senyummu tak lagi sama. Aku tahu, ada banyak
lelah yang hinggap di sana. Namun tanganmu masih lebar-lebar menyambutku
seperti biasa. Tanpa perlu banyak bicara, pelukanmu sudah mengatakan segalanya.
Ah, sebegitu beratnyakah?
Banyak
sunyi yang kita bagi. Jika sudah ku tatap kau langsung ke bola mata, engkau memilih
diam atau sekedar mengalihkan pandangan. Banyak kata yang berseliweran di
kepala, tapi selalu menjadi urung untuk kutanyakan. Aku menghargai apa yang
kamu minta dengan memberi diam. Maka kau hanya semakin erat menggenggam dan
membenamkan aku dalam pelukan tanpa ada satu kalimat penjelasan. Ah, sebegitu
beratnyakah?
Hening
jadi teman kita hingga pagi. Pagi pertama di bulan November. Engkau masih tak
berkata-kata. Engkau memilih mengungkapkannya melalui pesan singkat meski jarak
kita hanya sehasta. “selamat datang di November”. Hanya itu pesan singkatmu,
tak ada harap atau syukur seperti bulan-bulan sebelumnya. Ah, sebegitu
beratnyakah?
Sajak
panjangmu menjadi sarapanku pagi ini. Kau jabarkan segalanya melalui kata-kata
yang telah bermetafora tentang bagaimana dunia yang terus menantang untuk minta
dikalahkan. Dunia yang sedang sering singgah dan bertengger di atas bahumu,
menyesakkan hatimu, dan memberatkan langkahmu. Dunia yang membuatmu mulai
merasa kelelahan karena seolah tak memberikanmu jeda untuk sekedar menghela
nafas walau sebentar saja. Ah, ternyata memang seberat itu.
Aku
tahu, masih akan ada banyak mendung yang akan menjelang berhari-hari ke depan. Tapi
bukankah kita sama-sama mencintai hujan? Bukankah mendung sudah serupa hidangan
pembuka yang selalu kita nantikan sebelum menyantap makanan kesukaan? Jadi
untuk apa terus dirisaukan?
Aku
melepaskan genggaman tangan. Lantas mengetikkan sebuah kalimat yang kukirimkan
menujumu. “Sudahlah sayang, November bukankah memang dari dulu selalu begitu?” Engkau
tersenyum, kemudian tertawa lepas tanpa beban seolah semua sudah hilang. “Heiy,
kamu sudah pulang!” aku berteriak girang.
Jadi,
sudahlah sayang, buat apa dirisaukan. Dari dulu, November memang selalu begitu,
bukan? Tersenyum saja karena Tuhan sudah menyiapkan jalan lewat setiap usaha
dan doa kita yang kita lakukan.
Fiksi.menjelang
senja. sehari sebelum tanggal tiga.