Copyright © ...Pecinta Kata dan Senja...
Design by Dzignine
Jumat, 02 November 2012

Hell-o November!




Menjumpaimu pada senja yang mulai temaram hendak menjemput malam. Engkau membuka pintu dengan tatapan yang entah menuju kemana. Senyummu tak lagi sama. Aku tahu, ada banyak lelah yang hinggap di sana. Namun tanganmu masih lebar-lebar menyambutku seperti biasa. Tanpa perlu banyak bicara, pelukanmu sudah mengatakan segalanya. Ah, sebegitu beratnyakah?

Banyak sunyi yang kita bagi. Jika sudah ku tatap kau langsung ke bola mata, engkau memilih diam atau sekedar mengalihkan pandangan. Banyak kata yang berseliweran di kepala, tapi selalu menjadi urung untuk kutanyakan. Aku menghargai apa yang kamu minta dengan memberi diam. Maka kau hanya semakin erat menggenggam dan membenamkan aku dalam pelukan tanpa ada satu kalimat penjelasan. Ah, sebegitu beratnyakah?

Hening jadi teman kita hingga pagi. Pagi pertama di bulan November. Engkau masih tak berkata-kata. Engkau memilih mengungkapkannya melalui pesan singkat meski jarak kita hanya sehasta. “selamat datang di November”. Hanya itu pesan singkatmu, tak ada harap atau syukur seperti bulan-bulan sebelumnya. Ah, sebegitu beratnyakah?

Sajak panjangmu menjadi sarapanku pagi ini. Kau jabarkan segalanya melalui kata-kata yang telah bermetafora tentang bagaimana dunia yang terus menantang untuk minta dikalahkan. Dunia yang sedang sering singgah dan bertengger di atas bahumu, menyesakkan hatimu, dan memberatkan langkahmu. Dunia yang membuatmu mulai merasa kelelahan karena seolah tak memberikanmu jeda untuk sekedar menghela nafas walau sebentar saja. Ah, ternyata memang seberat itu.

Aku tahu, masih akan ada banyak mendung yang akan menjelang berhari-hari ke depan. Tapi bukankah kita sama-sama mencintai hujan? Bukankah mendung sudah serupa hidangan pembuka yang selalu kita nantikan sebelum menyantap makanan kesukaan? Jadi untuk apa terus dirisaukan?

Aku melepaskan genggaman tangan. Lantas mengetikkan sebuah kalimat yang kukirimkan menujumu. “Sudahlah sayang, November bukankah memang dari dulu selalu begitu?” Engkau tersenyum, kemudian tertawa lepas tanpa beban seolah semua sudah hilang. “Heiy, kamu sudah pulang!” aku berteriak girang.

Jadi, sudahlah sayang, buat apa dirisaukan. Dari dulu, November memang selalu begitu, bukan? Tersenyum saja karena Tuhan sudah menyiapkan jalan lewat setiap usaha dan doa kita yang kita lakukan.

Fiksi.menjelang senja. sehari sebelum tanggal tiga.