Copyright © ...Pecinta Kata dan Senja...
Design by Dzignine
Jumat, 28 Mei 2010

...Kembali Pulang...



      Headshet di telinga memperdengarkan dendangan lagu dari playlist yang kuputar. Dingin AC di dalam bis menemaniku menuju Jakarta. Dan tanpa sengaja wajahku terkena terik mentari yang tertembus kaca jendela yang tak tertutup tirai. Entah mengapa, aku merasa begitu nyaman menikmati hangatnya ditemani dengan pemandangan pepohonan hijau yang mulai berbunga seiring pergantian musim.
      Namun langit nampaknya cepat sekali berubah arah. Terik yang menghangatkan itu terasa hanya sepersekian detik. Langit kembali mendung. Murung seolah berkabung. Seperti lamunanku yang tak tentu ujung.
      Aku masih setia di dalam bus ini, menuju Jakarta, dengan seseorang yang sepertinya aku kenal duduk di sebelahku tapi enggan untuk kusapa lebih dahulu. Dan dia pun terlihat acuh, acuh dengan aku yang sedari tadi berbatuk karena gatal tenggorokan ini menyiksaku sehingga membuat bis jadi gaduh.
     Aku kembali ke Jakarta. Kembali ke tempat yang aku sebut sebagai “rumah”. Ke tempat yang sangat nyaman di mana biasanya dapat kutemukan pelukan hangat mama dan ucapan bijak papa. Tempat yang saat aku tiba, selalu disambut dengan tatapan rindu mama yang penuh cinta dan tawa khasnya yang tak pernah bisa aku lupa. Dan saat berada di sana, merupakan saat ternyaman yang tak pernah bisa digantikan oleh apapun dan oleh siapapun.
     Dulu, kalimat “kembali pulang ke rumah” menjadi kalimat sakral yang selalu aku nantikan untuk dilakukan. Karena di rumah aku bisa bebas berkeluh kesah dengan mama yang tak pernah bosan mendengarkan. Jika aku mulai menangis, ia akan dengan setianya menemani dengan pelukan hangat penuh keibuan, senyum yang menenangkan, dan petuah yang seolah bagaikan oase menyegarkan di tengah padang gurun terpanas di dunia.
    Namun, “rumah” yang sekarang, bagiku hanya sebuah objek belaka. Sebuah bangunan kokoh berwarna oranye yang di terasnya terdapat banyak bunga angrek kesukaan papa. Kalimat “kembali pulang ke rumah”, kini seperti tak punya roh lagi. Saat aku pulang, yang ada hanya sunyi, hampa tak bertepi. Rumah seolah tak punya lagi energi semenjak mama pergi. Aku pun susah payah berusaha menghidupkan kembali energi itu..agar oranye di rumah ini sungguh memancarkan keceriaan. Namun sekeras apapun ku mencoba, tetap saja berbeda. Yang ada justru tangis yang tertahan, tawa yang dipaksakan, dan jerit yang tak mampu diteriakkan.
     Bila saat itu terjadi,aku hanya mampu menertawakan diri sendiri. Sungguh bangga aku pada mama. Bahkan rumah pun merindukannya yang selama hampir 36 tahun ini selalu mendiami dengan tangannya yang tak perah mengeluh letih. Dan mama selalu punya hati untuk memberikan kehidupan dan energi di rumah kami.
    Aku mengaku kalah, Ma. Aku tidak bisa bersahabat dengan rumah. Ia tidak mau menghidupkan kembali kedamaian dan ketenangannya melalui aku. Ia hanya mau memberikan itu untukmu. Maka saat kau pergi, terasa sekali rumah ini begitu sepi.
Kembali pulang ke rumah..
       Masihkah kalimat itu sakral untukku?? Aku ragu...
     Aku memang senantiasa kembali ke sini, dan akan selalu kembali meski tidak ada lagi hadir mama yang menghidupkannya. Demi papa, yang mengaku selalu tak pernah bisa lupa bayang mama yang selalu ada di setiap sudut rumah. Aku tidak heran mendengarnya. Ya, karena memang mama-lah yang memberi energi kehidupan di rumah oranye kami.
Lantas..kemanakah aku harus pulang???
Kemana rumah yang harus kutuju sekarang??
Hati yang bertanya, namun hati pula yang tak sanggup menjawabnya.

Gadis Bersiluet Oranye

-->


Sosoknya hadir dalam siluet berlatarbelakang langit senja yang mulai kemerahan. Cukup dari tempatku berdiri sekarang, aku terdiam memandanginya, seorang gadis cantik berbalut pakaian hitam dengan rambut panjangnya yang terurai. Tak banyak yang ia lakukan sejak tadi. Ia hanya berdiri sambil menatap ombak di laut lepas yang sesekali menghampiri. Ia tak bergeming, saat ombak perlahan membasahinya kakinya. Jika ia mulai merasa bosan, ia berjalan beberapa meter sambil menendangi hamparan pasir di hadapannya. Menendang dengan hampa.
Aku bertemu dengannya secara tidak sengaja sepuluh hari yang lalu. Saat itu kulihat ia seorang diri di pantai ini, berlari dengan riang seolah ingin mengiringi matahari yang perlahan menghilang di ufuk barat. Entah apa yang salah dengan dirinya. Meski senyum tersungging di bibirnya, tatapannya begitu dalam tetapi kosong.
Tanpa alasan yang jelas, aku merasa nyaman memperhatikannya sejak sepuluh hari yang lalu. Dari jarak beberapa meter tempat ia biasa berdiri, aku masih bisa memotretnya dengan SLR digital yang selalu jadi teman setia saat aku pergi. Pernah suatu kali tatapannya yang selama ini acuh, tertuju lurus menembus lensa kamera hingga ke retina mataku. Namun ia tetap saja terlihat angkuh. Seolah tak peduli apa yang kulakukan. Sekalipun sepertinya ia tahu aku baru saja mengabadikan dirinya dengan kamera yang kupegang.

...

            Sebelas hari aku di sini. Tak pernah ada keberanian yang mampu mendorongku untuk mendekati atau sekedar menyapanya. Aku terlalu takut, dia akan merasa terusik dengan pertanyaanku hingga akhirnya dia tak kembali lagi ke pantai ini. Sosoknya menjadi terekam sangat manis dalam memori di otakku. Aku selalu ingat bagaimana angin membelai rambut panjangnya yang hitam legam. Bagaimana ombak membuatnya tertawa. Dan bagaimana pasir menjadi tempat untuknya bercerita.
            Ia masih saja sama sejak pertama kali aku melihatnya. Ia selalu memakai pakaian berwarna hitam. Mungkin ia menyukai warna hitam. Aku mencoba berpikir begitu meskipun terasa janggal. Aku seolah tak peduli lagi logika. Kali ini aku menyerah. Aku dikalahkan oleh perasaan. Semua tentangnya, terlihat begitu indah walau tak banyak yang ku tahu. Bahkan mungkin sebenarnya aku memang tidak tahu apa-apa.
            Kurasakan setetes air jatuh di punggung tanganku. Akupun menengadah menatap langit. Awan kelam sudah memayungiku di sana. Sepertinya gerimis ini akan menjadi hujan lebat. Maka kulangkahkan kakiku menuju cottage tempat aku menginap. Aku sempat menoleh ke arah gadis berbaju hitam itu. Ia masih tetap tersenyum memandangi ombak.

...

            Hari keduabelas dan aku sudah menunggunya sejak tadi. Namun ia tak kunjung dapat kulihat keberadaannya. Aku berjalan menyusuri pantai, berharap dapat menemukan sosoknya. Akan tetapi, Ia tetap tak bisa kutemukan dan itu membuat hatiku mulai gelisah. Aku resah memikirkan segala kemungkinan buruk yang terjadi padanya. Akhirnya, aku kembali ke tempat aku biasa duduk mengamatinya dari kejauhan. Resahku terkalahkan oleh pasrah. Mungkin sekarang ia sedang sakit karena kemarin ia memilih tetap di sini saat akhirnya hujan lebat turun. Atau mungkin, jangan-jangan ia mulai jengah karena sadar selama ini aku selalu memperhatikannya? Pikiranku mulai mengada-ngada. Bodohnya aku. Kenapa harus sekhawatir itu? Dia bukanlah siapa-siapa. Begitupun aku.  Bahkan, kami tak pernah menjalin komunikasi melalui kata-kata. Entahlah. Aku hanya merasa rindu.
     “Mencari aku??” sebuah tanya terucap dari seseorang yang dengan tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku serasa ingin melonjak kegirangan melihatnya kembali, terlebih dalam jarak kami yang sedekat ini. Aneh. Perasaan ini sungguh-sungguh aneh.
     “Kenapa?” aku hanya tersenyum membalas semua pertanyaannya. Aaaargh...aku justru  bingung harus berkata apa. Rasanya banyak kata yang berdesakan mengantri untuk diucapkan sehingga aku tak mampu menyusunnya menjadi sebuah kalimat yang rapi. Akhirnya aku berakhir dengan diam dan memilih untuk tetap memerhatikannya saja. Seperti biasa.
            Ia masih duduk di atas pasir persis di sebelahku yang tetap membisu. Sesekali ia tersenyum menatapku tanpa berkata apapun. Hening, hingga akhirnya matahari terbenam dan langit perlahan mulai gelap. Ia masih tetap nyaman memainkan pasir dengan sebatang ranting yang sejak tadi ia pegang.
            Biasanya saat matahari sudah tak terlihat lagi, aku membiarkannya sendiri di pantai ini dan memilih untuk kembali ke cottage tempat aku menginap. Namun kali ini aku tertahan. Bukan, bukan tertahan, melainkan aku sendiri yang menahan diri untuk tidak pergi. Aku ingin lebih puas mengamatinya sebelum lusa pagi aku kembali ke Jakarta.
Air laut mulai pasang. Gadis berpakaian hitam yang masih saja belum ku ketahui namanya itu, bangkit dan beranjak pergi. Aku berniat mengikutinya sekedar ingin tahu di mana ia tinggal. Niatku urung, saat gadis itu menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Lalu ia menggeleng seolah ia tahu apa maksudku. Aku tertawa dalam hati. Ikatan batin macam apa ini? Tanpa kata, hanya isyarat yang tertangkap mata, tetapi tetap saja rasanya indah.

...

            Hari berganti. Sekarang, hari ketigabelas, lebih tepatnya hari terakhir aku di pantai ini. Gadis berbaju hitam itu kembali hadir duduk di sebelahku dengan tiba-tiba. Ia tetap memainkan pasir dengan ranting kayu yang ia bawa seperti kemarin. Aku mencoba untuk tak peduli dan membiarkan tatapanku lepas memandangi gulungan ombak yang terlihat ganas. Gila. Rasanya aku mulai setengah gila. Perasaan apa ini? Dari awal aku sungguh tidak mengerti.
     “Besok aku tidak akan ada di sini lagi.” kalimat itu terucap saja tiba-tiba dari bibirku. Dan itu menjadi awal dari percakapan kami.
     “Lantas, aku harus apa? Pergi saja kalau kamu memang ingin pergi.” Kulihat ia tersenyum.
     “Kenapa kamu selalu memakai baju warna hitam?” tanyaku seolah tak ingin ada hening lagi di antara kami.
     “Hanya untuk memperingati kepergian seseorang. Tapi hari ini adalah hari terakhir aku memakai baju berwarna hitam. Mmm..mungkin seterusnya aku akan memakai baju warna putih”
     “Seterusnya?” aku memandangnya bingung. Dan seperti biasa, ia hanya tersenyum.
     “Memangnya siapa yang kau kenang?” tanyaku ingin tahu. Ia berubah diam.
     “Kekasihmu?” Ia menggeleng.
     “Kenapa kamu selalu ke pantai ini setiap hari?”
     “Mengenang yang sudah pergi,” ujarnya. Namun tetap saja aku merasa tak mendapatkan jawaban yang menjelaskan apa-apa. Gadis itu kembali diam. Ia meraih kamera ku perlahan.
     “Kenapa kamu selalu duduk di sini, mengamatiku dari tempat ini lalu memotretku secara diam-diam?” ia balik bertanya kepadaku.
     “Karena kamu indah. Kamu terlihat begitu mempesona saat berlatar langit senja.” Kulihat ia masih sibuk mengamati gambar-gambar dirinya yang berhasil kuabadikan.
     “Keindahan itu tidak abadi...” ujarnya sambil kembali tersenyum dan mengembalikan SLR ku yang ia pegang lalu ia beranjak bangkit dari tempat duduknya.
     “Besok pagi aku kembali ke Jakarta. Kuharap ini bukan terakhir kalinya kita bertemu.” Aku berharap itu dapat menahan kepergiannya. Setidaknya menimbulkan suatu rasa ingin tahu di dalam dirinya untuk mengenal aku. Untuk kesekian kalinya, ia hanya tersenyum. Ia tetap saja melangkahkan kakinya perlahan meninggalkan pantai. Aku bangkit berusaha mengejarnya. Kali ini aku harus tahu siapa namanya.
            Ia berhenti dan membalikkan badan ke arahku. Kami membisu sesaat dengan tatapan yang saling beradu.
     “Ingat namaku. Fahrani Keisyani..” aku tertegun mendengar ucapannya. Kebetulan lagikah ini? Atau ia memang bisa membaca pikiranku? Kebetulan macam apa yang ingin Tuhan sampaikan?
     “Fahrani Keisyani...namaku...” ia mengulang ucapannya sekali lagi.
     “Pulanglah. Jangan ikuti kemana aku pergi. Suatu saat, dengan sendirinya kamu akan tahu rumahku.” Ia kembali melangkah pergi meninggalkanku yang masih mematung dengan hati bingung.
     “Namaku Bagas Aditya!” teriakku saat ia mulai menjauh. Tak peduli ia masih mendengarnya atau tidak. Kuharap masih.

...

            Perjalanan panjang 13 jam Jogja-Jakarta dengan kereta api yang kulalui kemarin, sungguh melelahkan. Setibanya di apartemen, aku langsung tertidur pulas dan terbangun keesokan harinya. Saat aku kembali membuka mata kuraih kalender kecil yang terletak di meja untuk melihat kapan kira-kira aku bisa kembali lagi ke Jogja. Kembali bertemu dengan perempuan yang katanya tak akan lagi mengenakan baju berwarna hitam, Fahrani Keisyani.

            Hari ini Kamis. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Aku bersiap untuk memulai aktivitas seperti biasanya. Berangkat kerja dengan TransJakarta menuju daerah perkantoran Sudirman dan membiarkan mobilku tetap terparkir di garasi alih-alih untuk mengurangi kemacetan. Sambil menunggu TransJakarta datang, aku mengambil koran pagi yang memang tersedia di shelter TransJakarta yang berada tak jauh dari apartemenku ini. Kubaca headline-nya, biasa saja. Masih tentang politik yang terus saja diperdebatkan. Pandanganku beralih dan fokus pada satu berita yang membuatku tersentak. Aku segera berlari kembali menuju apartemenku sambil membawa koran yang baru saja kubaca itu. Kucari kamera SLR-ku. Sial! Aku terduduk lemas menggerutu. Tak tahu harus berkata apalagi.
            Seorang gadis mengenakan baju berwarna hitam ditemukan tewas di Pantai Samas, Jogjakarta pada Rabu (10/10,) kemarin pagi oleh beberapa orang nelayan yang baru pulang melaut. Gadis yang dikenali warga bernama Fahrani Keisyani (22) itu, diduga hanyut terbawa ombak. Seorang saksi mata menyaksikan ia terus berada di pantai setiap sore sejak sebulan yang lalu setelah tunangannya telah pergi lebih dulu hanyut di pantai yang sama. Sebuah keberuntungan jasad Fahrani bisa terbawa ombak hingga kembali ke pantai sehingga keluarganya bisa mengebumikannya di pemakaman tak jauh dari rumah mereka di Jalan....
            Aku tak lagi membaca lanjutan beritanya. Aku hanya berulangkali membaca paragraf pertama berita itu. Fahrani Keisyani. Aku ingat betul, betapa ia memintaku untuk mengingat nama itu. Aku kembali memerhatikan foto gadis yang dimaksud dalam berita itu ketika ia masih hidup. Kuutak-atik kembali memori penyimpanan di SLR digitalku berusaha menyocokkan foto di koran itu dengan foto Fahrani yang ada di kameraku.
            Aku masih berusaha untuk menyangkal bahwa Fahrani yang hanyut  kemarin sore itu bukanlah Fahrani yang selama ini kuamati gerak-geriknya saat menunggu matahari terbenam. Namun berulangkali aku mencari, hanya ada satu foto perempuan yang tersisa di sana. Selebihnya foto-foto pemandangan yang kuabadikan selama perjalanan. Kurasa ia sudah menghapus fotonya yang lain sewaktu sedang melihat-lihat kameraku sore itu. Bodohnya, aku tak sempat memindahkannya terlebih dahulu ke leptop atau sekedar mengecek fotonya kembali selepas sore itu.       
            Sekarang, satu-satunya yang tersisa hanya sebuah siluet seorang gadis yang memandang ke arah laut lepas, memandangi gulungan ombak ditemani sinar mentari yang berwarna oranye. Dalam siluet oranye pun aku masih bisa mengenali kalau itu memang Fahrani. Hanya saja sekarang, ia akan terus mengenakan pakaian berwarna putih bersama dengan jasadnya yang akan dikebumikan.
                                                                                               

*23 September 2009
Selasa, 25 Mei 2010

hujan.cinta.dan dia


Aku kembali menyusuri jalan tol ini. Kali ini ditemani oleh hujan dengan langitnya yang sangat cantik. Kubuka sedikit kaca mobil, membiarkan anginnya yang damai menyusup masuk. Tak peduli supir yang mulai mengantuk di sebelahku mulai menggelengkan kepalanya seolah aneh melihat aku yang mengeluarkan tanganku lewat jendela lalu menengadahkannya ke langit menyambut hujan.

Aku menyukai hujan. Sangat. Dari kapan yaa?? Entah, aku juga lupa kapan tepatnya. Yang aku ingat, aku suka hujan karena dia, orang yang sangat aku sayangi, begitu menyukai hujan. Rasanya hujan menjadi begitu romantis. (haha*)

Ia sering bercerita tentang hujan. Betapa hujan membuatnya merasa damai. Awalnya aku biasa saja menanggapi. Aku bahkan sering mengeluh jika hujan datang. Ribut dengan jalanan becek, sepatu kotor, baju basah, mengganggu aktivitas, dan segala macam akibat hujan yang bisa merusak penampilan. Belum lagi suatu ketika aku pernah dibuat menangis oleh hujan. Terjebak hujan deras dengan sandal yang putus, baju yang mulai kuyup, ketinggalan primajasa terakhir pulang ke jakarta dari Leuwi Panjang. Saat itu rasanya ingin berteriak dan marah pada hujan. Aku lantas berkeluh kesah padanya sambil menangis di dalam bis lain menuju Jakarta dalam keadaan kedinginan karena baju kebasahan. Ia dengan wibawanya, sabarnya, dan perhatiannya menenangkan aku, membuat tangis kembali menjadi tawa. Dan di luar, hujan masih turun dengan derasnya. Namun saat itu, sudah tidak lagi ada air mata.

Aku menjadi begitu terobsesi pada hujan. Aku begitu cinta dengan angin yang datang sebelum hujan. Aku begitu tergila dengan wanginya saat membasahi tanah atau jalanan beraspal. Dan sekarang, aku bisa merasakan damai mendengarkan senandung hujan saat mengenai atap rumah.
Meski hujan kali ini punya wangi yang berbeda karena terkontaminasi dengan asap knalpot dan truk yang melintas, hujan tetaplah hujan. Aku akan tetap menyukai hujan, karena hujan pernah membuatnya tetap tinggal. Lalu dengan setianya kami memandangi hujan sambil menggenggam tangan dan bersama melukis mimpi-mimpi.




Senin, 24 Mei 2010

Senandung Hujan

Panas kota Jakarta terasa makin menyengat. Membuat kulitku nampak mulai menghitam dari sebelumnya. Kota Jakarta makin terasa penat dengan segala aktivitas yang padat dan mobilitas yang seringkali menimbulkan kemacetan. Polusi udara pun ikut menggila, membuat banyak manusia menjadi sesak bernafas karena sedikit udara bersih yang tersisa. Hal itu seolah yang membuat burung-burung enggan untuk berkicau lagi di pagi hari. Karena saat pagi menjelang, mereka sudah disambut dengan asap kendaraan yang banyak mengandung karbondioksida. Hingar-bingar kota Jakarta, sungguh membuat aku begitu merindukan hujan.

Aku begitu merindukan hujan...
Rindu pada harum kedatangannya ketika membasahi tanah dan jalanan beraspal. Rindu pada setiap tetesannya yang berdenting di atap rumah bagai sebuah melodi syahdu yang menenangkan kalbu. Rindu pada kehangatannya yang menyusup bersama udara dingin. Rindu pada nyanyiannya yang penuh dengan ribuan makna.

Aku bersahabat dengan hujan...
Hingga aku berlari ketika hujan pertama yang menggantikan musim panas menyengat itu tiba. Lalu aku berlarian bagai seorang anak kecil yang baru saja mendapat sebuah balon dan permen lolipop berwarna merah muda dari ibunya. Namun aku tertegun. Hening. Langit begitu gelap, membuat pikiranku berkelabat dan berimajinasi tentang “mati”.

Kilat menyadarkan aku yang semula tertegun selama sepersekian detik. Rasanya hujan tidak bersahabat kali ini. Tetesan yang biasanya menyejukkan dan menenangkan, kini terasa amat menggetarkan saat menyentuh kulit. Akupun kembali terpaku dalam keheningan yang dipayungi langit kelam.

Dering telepon membuyarkan lamunanku. Aku melangkah masuk dan mengangkat gagang telepon dengan sebuah firasat aneh yang berdesir dan beredar dalam setiap aliran darah.
“Halo...” sapaku lemah.
“Nak, bisa datang ke sini sekarang??” pertanyaan dari seseorang yang suaranya amat ku kenal terdengar begitu lirih.
“Ada apa, Tante?? Apa yang terjadi??” bukan jawaban yang aku dengar, melainkan sebuah isakan yang berubah menjadi suara tangis yang tertahan.
“Siang tadi, Devo kecelakaan. Sekarang dia ada di ruang ICU.” Tangis tertahan itupun pecah. Gagang telepon segera kuletakkan di tempatnya semula setelah aku tahu nama rumah sakit yang harus segera kutuju.
Tanpa banyak berkata dan berpikir lagi, aku bergegas pergi menghadang hujan yang belum berhenti. Membiarkan tetesannya membasahi raga dan pikiranku yang kalut karena memikirkan dia, seseorang yang sangat aku sayangi, kasihi, dan cintai. Dia, seseorang yang mengikat janji denganku untuk menjadi sahabat sejati.

***
Aku tiba di bangunan besar bercat putih ini. Di mana setiap sudutnya terasa begitu dingin hingga bulu kudukku merinding. Semuanya tampak kaku dan membisu. Kutapaki lantai yang dinginnya merayap lewat telapak kakiku. Dari jauh, ku lihat ibunda Devo, Tante Rista, yang seorang diri berdiri di depan ruang ICU. Kuhampiri ia dalam pakaianku yang basah kuyup, rambutku yang kusut, dan pikiranku yang makin kalut. Ia tersenyum di hadapanku meski ada tetes air mata yang membasahi pipinya. Sungguh aku tahu, itu adalah sebuah senyum yang sangat dipaksakan. Mungkin perasaannya sangat berkecamuk hingga ia tak dapat bedakan lagi mana tawa dan tangis.
Sebenarnya aku ingin bertanya, bagaimana semua ini bisa terjadi pada Devo. Namun aku tak sanggup rasanya membuat Tante Rista menjadi semakin jauh terjatuh dalam kesedihannya.
“Keisya, masuklah. Sepertinya ia menunggu kedatanganmu sejak tadi.” aku melangkah perlahan berharap ini semua hanya mimpi buruk.
“Sya,” langkahku terhenti sesaat dan pandanganku beralih menuju sorot mata Tante Rista yang berusaha tegar. “Relakan dia apapun yang terjadi nanti.” ujarnya pelan sambil memakaikan jaket yang semula ia kenakan ke badanku yang mulai menggigil kedinginan terguyur air hujan.
“Ya, aku harus kuat. Aku harus tegar, apapun yang akan terjadi nanti. Aku harus bisa menguatkan dan menemani Tante Rista karena ia pasti lebih rapuh daripada aku. Ia tak punya seseorang yang bisa menopangnya lagi semenjak Om Tris meninggal enam bulan yang lalu.” aku membatin dalam hati.

Akupun kembali menapaki lantai rumah sakit yang dingin, melangkah masuk menuju ruang ICU. Tak ku hiraukan beberapa suter yang menghampiriku dan berusaha memapahku karena langkahku yang begitu lemah. Aku hanya ingin menghampirinya dengan langkahku sendiri. Menepati janjiku padanya, janji yang pernah kami ikrarkan bersama.

***

Aku lama mematung setelah membuka pintu...Memerhatikan dia terbaring tenang di tempat tidur dengan banyak selang dan kabel yang menempel di badannya.
Aku lama menatapnya...
Sampai akhirnya aku mendekat dan membiarkan air mataku menetes dan jatuh di pelupuk matanya. Berharap ia akan terbangun dari tidurnya lalu tersenyum dan mengucap namaku pelan meski ia masih sulit untuk berbicara.
Aku mengenggam tangan kanannya...
Seolah aku ikut merasakan perjuangannya sebagai hamba Tuhan untuk tetap bisa kembali membuka mata merasakan nikmatnya kehidupan.
Sekian lama aku memandangi dan aku tak menyadari kalau detak jantungnya telah berhenti. Sampai akhirnya seorang suster berteriak dan membuat beberapa suster lain berhamburan masuk dengan tergesa bersama seorang dokter. Semua terlihat begitu sibuk berusaha menyelamatkan Devo hingga tidak memedulikan aku yang masih tertegun di dalam ruangan ini.
Aku tahu arti dari gelengan kepala itu. Rasanya kakiku tak mampu lagi berpijak seolah aku berada di hampa udara. Aku terpojok di sudut ruangan, menyaksikan ia tersenyum lalu melangkah pergi. Aku berusaha membalas senyumannya meski rasanya sulit merelakan hari-hari indah yang akan kulewati tanpanya lagi. Akupun terduduk lesu di sudut rumah sakit yang kaku dalam ruang ICU. Entah apa yang terjadi kemudian. Semua terasa begitu pekat. Aku seolah tak mampu melihat karena terlalu gelap.

***
Langit malam memayungi kami berdua di hamparan rerumputan yang membawa aroma kedamaian. Di bawah hamparan bintang, kami berdua mengikat janji.
“Aku sayang kamu...” aku tersenyum mendengar ucapannya kala itu.
“Berjanjilah, apapun yang akan terjadi nanti, kita akan bersahabat selamanya. Sampai nanti anak dan cucu kita lahir dan kita biarkan mereka akan meneruskan persahabatan kita. Mereka akan saling bersahabat seperti kita.“ aku mengacungkan jari kelingkingku, mengajaknya mengikat janji seperti anak kecil yang sedang berbaikan dengan saling menautkan kelingking mereka.
“Berjanjilah, aku adalah orang yang pertama kali tahu tentang segala kisah suka dan duka yang kau alami.” ia menambahkan yang kubalas dengan sebuah anggukan yang pasti.
“Satu hal lagi...”
“Apa???” tanyaku.
“Aku berjanji akan menemanimu di saat-saat terakhir penghujung waktumu dan kaupun juga harus begitu. Jika suatu saat aku tiba di penghujung waktuku, kau harus ada menemaniku di saat-saat terakhir.” aku tersenyum kemudian memeluknya erat.

***

Masa lalu itu hadir lewat mimpi...
Membangunkan aku dari ketidaksadaranku yang sempat terhenti. Aku kembali pada dunia nyata. Dia sudah terbaring kaku di sana dengan senyum yang sama. Senyum yang sempat ia perlihatkan padaku sebelum ia pergi.
Dia tidak dapat menepati janjinya padaku untuk membiarkan anak dan cucu kami melanjutkan pesahabatan kami. Ia tak akan ada untuk menemaniku di penghujung usiaku karena ia telah pergi lebih dulu. Aku tersenyum mengingat sebuah kalimat yang dulu sering ia ucapkan padaku.
“Pejamkan matamu bila kau rindukan aku dan kaupun akan tahu kalau aku tak pernah pergi jauh, apalagi meninggalkanmu. Aku akan selalu ada di hatimu seperti aku selalu menyimpan bayang wajahmu di hatiku...Whatever tomorrow brings, i’ll be there..Whatever the tears fall, i’ll be there...”

Kematian adalah suatu hal yang penuh misteri. Kita tak pernah tahu kapan ia akan mengetuk dan datang menghampiri. Satu hal yang selalu aku yakini, Devo pergi dengan sebuah cinta yang terpatri di dalam hati...

“Cinta ada untuk cinta itu sendiri, bukan untuk dimiliki. Cinta memang ada untuk dicintai dan diungkapkan sebagai sebuah jembatan baru ke pelajaran-pelajaran kehidupan manusia selanjutnya. Cinta yang akan membuat manusia lebih mengerti siapa dirinya dan siapa penciptanya. Dan, dengan penuh rasa syukur akhirnya manusia menyadari bahwa tidak ada cinta yang paling besar di dunia ini kecuali cinta Sang Pencipta kepada makhluknya. tidak pernah ada cinta yang bisa dimiliki oleh manusia, kecuali cinta dari Sang Pencipta yang tidak pernah berpaling dari manusia dan selalu mencintai makhluk terbaik ciptaan-Nya. Sang Pencipta tidak pernah memberikan apa yang manusia pinta, seperti CINTA…Ia memberi apa yang manusia butuhkan."
[Donny Dhirgantoro, 5 CM]


* untuk seseorang yang selalu mengajarkan aku tentang arti kehidupan. Sungguh tak akan pernah kulupa ribuan hari yang pernah kita lalui bersama.

Sebenarnya Cinta...

--> -->Hufh, hingar-bingar kota Jakarta mengingatkan aku pada suatu kenangan manis dalam sebuah kedamaian. Membuat aku merindukan sejuknya udara di Gunung Semeru. sungguh aku rindu masa-masa itu..
.....


-->
Aku terkesima menatap indahnya pemandangan alam yang menakjubkan. Rasa lelah pendakian rasanya terbalas sudah ketika tiba di puncak Gunung Semeru. Aku tersenyum menatap Langit, sosok yang berdiri di sampingku. Raut wajahnya nampak terlihat tenang seolah sedang mensyukuri betapa kuasanya Sang Pencipta. Pandanganku beralih memperhatikan teman-teman sependakian yang asyik berpose ria mengabadikan keberhasilan mereka menaklukkan Gunung Semeru.
“Makasih yah udah ngajak aku ke sini.” ujarku pada Langit.
“Indah kan? Pasti nanti kamu bakal sering-sering ke sini.” aku hanya menanggapinya dengan sebuah senyuman,
“Aku pengen ngeliat kamu datang ke tempat ini lagi sendiri, tanpa aku.” Tak lama Lagit berujar seraya memecah keheninga di antara kami berdua.
“Kamu ada-ada aja. Mana berani aku sendiri? Kamu kan tahu aku tuh manja banget. Siapa sih yang tahan sama manjanya aku? Cuma kamu yang bisa ngerti itu.”
“Justru itu, aku pengen kamu nggak tergantung sama orang lain.”
“Mulai lagi deh ceramahnya. Udah deh, mendingan sekarang kita foto-foto aja sama mereka.” aku menarik tangan Langit untuk bergabung bersama teman-teman yang lain hingga Pharell, ketua pecinta alam Armapala, memutuskan untuk segera turun gunung sebelum kabut datang mengganggu perjalanan kami.
.....
-->
Aku menggenggam erat tali yang diikatkan di tas Lila yang berjalan tepat di depanku. Hujan turun tiba-tiba dan kami tidak memperkirakannya akan sederas ini. Berteduhpun tak ada tempat yang bisa melindungi kami dari derasnya hujan. Kami akan tetap basah kuyup. Membuat tenda rasanya tak mungkin dengan kondisi medan yang terjal. Kami memutuskan untuk tetap melanjutkan turun gunung. Aku optimis kalau kami semua akan baik-baik saja. Pharell bilang, mereka sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Aku yang memang baru pertama kali mendaki gunung akhirnya ditempatkan di tengah, terpisah dari Langit yang berjalan di belakang untuk mengawasi kami yang berjalan lebih dahulu.
Ketika hujan mulai mereda dengan rintik-rintik yang kadang masih menerpa wajah, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak. Pandangan mataku berkeliling mengamati sosok teman-temanku yang terlihat kelelahan. Aku tersentak menyadari ada sesuatu yang janggal di sini.
“Langit sama Tristan kemana?? Mereka nggak ada!!!” bukannya panik seperti aku, tetapi Pharel, Lila, Sinta, dan Keinant hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Kalian semua pada kenapa sih? Kok tenang-tenang aja gitu sih! Kalau terjadi sesuatu sama mereka berdua gimana?”
“Sya, Langit itu mau bikin surprise buat kamu. Dia mau ngelamar kamu kalau kita sudah berhasil turun gunung. Yah..walaupun sekarang belum bisa dibilang kita belum sampai, mungkin dia berubah pikiran untuk ngelamar kamu di gunung biar lebih romantis.” Sinta menjelaskan panjang lebar.
“Candaan tingkat tinggi!” aku seolah tak percaya.
“Serius! Tadinya kita nggak mau ngasih tahu. Tapi liat tuh tampang kamu, bikin kami nggak tega.” Keinant menimpali.
“Lantas, kemana Keinant?” tanyaku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh mereka.
“Mungkin saja dia sedang membantu Langit mempersiapkan semuanya. Melamar seorang pujaan hati kan bukan perkara gampang, Sya” aku tersenyum simpul mendengar jawaban Pharel yang memang baru menikah sebulan yang lalu.
“Maaf yah, Sya. Jadi nggak surprise lagi deh acara lamar-melamar romantisnya. Tapi yaaa hitung-hitung persiapan buat mental jugalah biar nanti kamu nggak kaget bakal jawab apa.” Lila mengusap punggung tanganku seolah tahu kalau jantungku sedang berdegup kencang dan otot wajahku menegang. Benarkah Langit akan melamarku di sini? Hari ini? Di tempat yang indah ini? Sebersit rasa gembira dan haru menyusup ke dalam relung-relung kalbuku. Ketika ia memintaku untuk menjadi pendamping hidupnya nanti, tanpa ragu, aku pasti akan langsung menjawab “iya”.
Setengah jam menanti akhirnya dari kejauhan nampak Tristan berjalan sendirian. Aku mengernyitkan kedua alisku dengan degup jantung yang semakin tak menentu. Seandainya saja aku tadi tidak panik, pastilah mereka tidak akan memberitahukan perihal Langit akan melamarku, mungkin aku tidak akan segugup ini sekarang. Tapi...ah, sama saja. Aku pasti panik mencari-cari keberadaan Langit.
“Langit mana?” tanyaku sedikit cemas saat melihat ada yang berbeda dari raut wajah Tristan.
“Sya, sorry, gw nggak bisa....gw...”
“Nggak bisa apa??” tanyaku tenang, seolah bisa menebak kalau Tristan sedang bersandiwara. Pasti Langit akan muncul tiba-tiba saat aku terlihat putus asa mengira sesuatu terjadi padanya.
“Udahlah, Tan..nggak usah akting. Pake sok sedih segala. Ngumpet di mana si Langit? Jangan lama-lama dong, nanti keburu kabut turun lagi.” ujar Pharel.
“Tapi...Langit....Langit....” Tristan terkulai lemah dengan ekspresi yang ingin menangis. Namun aku justru tertawa.
“Maksud kamu apa sih, Tan? Kamu lagi sekongkol kan sama Langit mau bikin kejutan buat aku? Maaf ia, Tan..aku udah tahu hehehehe” aku tersenyum yang diikuti tawa dari anggota Armapala lainnya.
“Ini bukan soal Langit yang mau ngelamar lo, Sya! Tapi Langit terperosok k alam jurang!! Gw udah berusaha nolong, tapi...tapi dia memilih untuk melepaska tangannya dari genggaman gue. Dia...dia...jatuh ke dalam jurang!!!” Tangis Tristan pecah. Kami semua termangu seketika. Terlebih lagi aku. Lila yang berdiri di dekatku segera menopang bahuku saat aku mulai limbung. Ini pasti mimpi. Mimpi buruk karena sebelum tidur tadi aku lupa berdo’a.
.....

-->
Aku membuka kedua mataku. Untunglah, ternyata dugaanku benar. Itu semua cuma mimpi. Aku tersenyum menatap sekeliling kamarku yang nyaman. Kuraih sebuah pigura yang terletak di meja sebelah tempat tidurku. Ada foto Langit dan aku yang sedang tersenyum di sana. Betapa bahagianya menyadari kalau mimpi buruk itu memang cuma sekedar mimpi.
“Keisya??? Kamu sudah sadar?” Lila masuk ke dalam kamarku diikuti dengan anggota Armapala yang lain. Aku terhenyak penuh dengan kebigungan.
“Maaf ya, Sya.” Aku hanya terdiam. Menanti kalimat apa lagi yang akan segera terlontar dari mereka.
“Kami terpaksa menguburkan Langit di Gunung Semeru tanpa kehadiran kamu.”
Menguburkan Langit di Gunung Semeru?? Apa maksudnya ini? Kulihat Tristan menundukkan kepalanya dengan wajah penuh dengan penyesalan. Jadi ini semua bukan mimpi?? Tubuhku terasa lemas lagi tak kuasa menerima kenyataan yang terjadi.
“Kenapa kalian semua tega mengebumikan Langit tanpa ada aku?? Aku belum melihat jenazahnya!! Siapa tahu saja itu bukan jenazah Langit!! Kalian semua tega!!” aku histeris.
“Sya, kita nggak mungkin nunggu kamu siuman dari pingsan kamu untuk mengebumikan Langit. Kamu tuh udah pingsan empat hari tahu nggak!! Liat aja di luar kamar kamu ada suster yang siap sedia kalau terjadi apa-apa sama kamu. Kita semua malah sempet mikir kamu mungkin bakalan nyusul Langit karena kamu nggak kunjung siuman. Terus kamu tega membiarkan Langit terlantar nggak segera dikebumikan hanya karena kamu? Santi mencoba memberi pengertian padaku.
“Tapi aku belum ngeliat dia untuk terakhir kalinya....” aku pun tak dapat membendung air mataku lagi. Lila dengan serta merta memelukku erat.
“Tim SAR yang membantu mengevakuasi Langit menemukan ini dalam genggamannya.” Pharell menyerahkan sebuah cincin berwarna putih padaku. Cincin yang ia yakini sebagai cincin untuk melamarku. Aku mengambilnya lalu memasangkannya di jari manis kananku.
.....

-->
Dan sekarang aku kembali mendaki Gunung Semeru seorang diri. Kata Pharell, sewaktu ia dan Langit mendaki Gunung Semeru pertama kalinya, Langit berpesan padanya jika ia menutup usia, ia ingin dikebumikan di tempat ini sebagai dedikasi terakhirnya sebagai seorang pecinta alam sejati. Aku tahu kalau Langit sangat menyukai Gunung Semeru. Karena alasan itu pulalah ia mengajakku untuk menemaninya mendaki Gunung Semeru waktu itu. Ternyata, Gunung Semeru memang sangat indah. Keindahannya membuat aku selalu tertarik untuk kembali setiap tahunnya. Karena di tempat indah inilah terdapat tempat peristirahatan terakhir orang yang sangat aku cinta.
“Aku kembali Langit. Kamu ingat nggak, sekarang tepat anniversary kita yang kesepuluh. Nggak terasa yah udah sepuluh tahun berlalu. Empat tahun yang sangat berat tanpa kamu ada lagi di sisi aku. Tapi aku akan selalu setia sama kamu...” kuusap debu di nisan yang tertera nama Langit di sana.
.....

-->
“Eh, lo semua pada tahu nggak tentang mitos di gunung ini?”
“Emangnya ada mitos apaan? Serem yah?”
“Katanya kalau ngedaki gunung ini bawa pasangan, nanti hubungannya bakal langgeng.”
“Emang gimana ceritanya sampe ada mitos kayak gitu?”
“Kakak gw bilang, dulu ada sepasang kekasih yang mendaki gunung ini. Nah cowoknya itu mau ngelamar ceweknya kalau mereka berhasil turun gunung dengan selamat. Tapi ternyata cowoknya jatuh ke dalam jurang waktu hujan lebat turun pas mereka lagi turun gunung.”
“Terus cowoknya meninggal?” si pencerita kisah itu mengangguk.
“Gimana mau langgeng kalo tokoh utamanya aja mati.”
“Nah, katanya si cewek itu sampe sekarang nggak nikah-nikah. Umurnya samalah kayak abang gw. Lo bayangin dong, abang gw aja sekarang udah punya anak dua.”
“Yeee..itu mah emang abang luw nya aja kali yang pengen punya anak banyak mumpung masih muda.”
“Tapi tragis juga yah ceritanya. Kasihan ceweknya.”
“Dan kalo nggak salah, kata abang gw juga, kuburan cowoknya nggak jauh dari sini. Setiap pendaki yang mau naik ke puncak pasti ngelewatin kuburan itu. Kuburan itu satunya-satunya kuburan di gunung ini.”
“Nah itu dia kuburannya!” ujar si pencerita setelah beberapa saat mendaki.
“Loh, kayaknya ada orang di sana. Samperin yuk! Siapa tahu aja itu ceweknya, jadi kita kan bisa nanya langsung kejadian yang sebenernya. Siapa tahu aja abangnya Nino nambah-nambahin ceritanya.” tanpa perlu aba-aba lagi, mereka bergegas menghampiri sosok yang nampak tertidur pulas di samping makam.
“Ya ampun, ini Keisya! Gw pernah ngeliat fotonya di album Armapala punya Kak Pharell. Dia temennya Kak Pharell, cewek yang tadi gw ceritain!”
“Oh my GOD!! Kita terlambat!! Denyut nadinya udah nggak ada. Gw rasa dia mati kedinginan di sini. ”
“Coba liat apa yang dia pegang??” salah seorang dari pendaki itu memperlihatkan kepada teman-temannya sebuah foto sepasang kekasih yang sedang bergandengan tangan di puncak gunung dan sebuah kartu ucapan yang tertulis “ Happy Anniversary yang kesepuluh”, 27 Agustus 2007, tepat tiga hari yang lalu.
Dan makam di Gunung Semeru itu, kini tak lagi sendiri.......

......

-->
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat dulu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kita berduka saat kita tertawa
Peterpan - Semua Tentang Kita




*tulisan jaman SMA yang masih terselamatkan haha*