Aku melangkah dengan gontai menuju kursi ruang tunggu. Kulirik jam tangan yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Perutku mulai bernyanyi karena sejak pagi belum diisi. Baiklaaah..nanti saja sekalian makan siang. Aku membatin.
“Antrian nomer berapa, Mba?” tanya seorang ibu muda yang tiba-tiba duduk di sebelahku.
“Hmm..saya baru saja keluar ruangan dokter, Bu. Nomer berapa ya tadi? Saya lupa, maaf.” Jawabku sambil tersenyum.
“Oooo saya kira sedang menunggu juga. Mba-nya sakit apa?” Aku kembali tersenyum tanpa menjawab pertanyaannya. Lantas tak berapa lama ibu muda itu berpamitan pergi karena namanya dipanggil melalui pengeras suara oleh petugas rumah sakit.
Sakit apa? Aku sakit apa? Ah aku tidak sakit. Lagi, aku membatin berusaha menghibur diri sendiri. Pikiranku langsung menerawang apa yang tadi dikatakan dokter setelah melihat hasil pemeriksaanku.
“Kamu punya riwayat keluarga yang mengidap cancer?” aku tertegun, tak berapa lama kemudian mengangguk pelan. Dokter cantik yang sudah menjadi dokter tetap sejak aku kecil itu lantas menyerahkan secarik kertas kepadaku.
“Kamu saya rujuk ke dokter Nasution, biar dia bisa menindaklanjuti hasil pemeriksaan kamu ini. Bawa surat rujukan ini biar nanti suster yang urus.”
“Everything wiil be okey, Doc?” dia tersenyum padaku. Aku mengartikan itu sebagai pertanda “ya”. Meski sebenarnya itu hanya untuk menenangkan hatiku saja.
Kulirik lagi jam di tanganku. Pukul sebelas lewat dan aku masih saja duduk di tempat yang sama, memerhatikan banyak orang yang berseliweran. Aku tak melakukan apa-apa hanya berkali-kali memandang map hasil pemeriksaan tanpa berani membuka apalagi membaca untuk kedua kalinya. Berkali memandangi, berkali juga aku berharap kalau bukan namaku yang tertera di sana, atau berharap kalau hasil pemeriksaan ini salah. Sungguh harapan yang mustahil. Aku terdiam. Berusaha bercengkrama dengan Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Aku masih membisu dalam keterkejutan. Seseorang tolong sadarkan! Tolong bangunkan! Seseorang...ya, aku butuh seseorang untuk bercerita. Aku butuh Langit! Ah, tapi aku ragu untuk memberitahunya. Akankah dia akan sama terkejutnya seperti aku? Lantas bagaimana kalau dia jadi menjauh? Atau..mungkin lebih baik aku saja yang menjauh lebih dulu? Sial, sudah seperti cerita di sinetron saja rasanya!
Kuhubungi Langit tanpa banyak berpikir lagi. Berkali kuhubungi, tak ada jawaban. Hmm...mungkin dia sedang sibuk seperti biasanya. Maka aku memilih untuk mengirimkan pesan singkat saja untuknya.
Aku butuh kamu, Langit.
Dan tanpa diduga, Langit cepat membalas pesanku.
Aku di dalam masjid, makanya telpon kamu gag aku angkat. Ada apa? Kamu di mana? Sms aja ya, atau mau aku telpon setelah nanti aku selesai solat Jumat?
Bodohnya aku, aku lupa kalau hari ini hari Jumat. Pantas saja sejak tadi telponku tak digubris.
Gag ada apa2
Entah mengapa aku mendadak urung bercerita.
Jangan buat aku penasaran
Tak kubalas lagi pesannya. Aku beranjak dari tempat dudukku. Melangkah keluar meninggalkan rumah sakit dengan perasaan berkecamuk yang aku sendiri tak mampu lagi seperti apa mendeskripsikannya.
Aku pulang ke rumah dan disambut dengan sepi. Kuletakkan begitu saja berkas-berkas pemeriksaanku di tempat tidur. Aku berbaring di sebelahnya, menatap langit-langit kamar dan tertidur karena kelelahan.
***
Aku terbangun tepat pukul tiga sore saat handphoneku berdering nyaring. Masih setengah mengantuk kutatap nama yang tertera di layar handphone. Sudah kuduga, pasti dia.
“Halo...” sapaku.
“Lemes banget sih..baru bangun tidur ya? Tadi udah makan?”
“Hmmm...sejujurnya sih, belum” aku refleks memegangi perutku yang kuingat belum kuisi sejak pagi.
“Makan di luar yuk!” ajaknya.
“Memangnya kamu nggak kerja?” tanyaku heran. Dia cuma terkekeh saja menanggapi pertanyaanku.
“Aku udah di deket rumah kamu nih. Jangan ngelamun terus sendirian. Ayo jalan-jalan! Kamu susul ke sini ya.” lantas dia menyebutkan nama sebuah rumah makan yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku. Paling sekitar sepuluh menit untuk sampai ke sana naik angkot.
Dan di sinilah aku, di sebuah rumah makan yang Langit ucapkan di telepon. Aku masuk dan memandang berkeliling mencari Langit. Kulihat dia sedang duduk di kursi paling pojok menghadap jendela lengkap dengan rokok yang sedang dihisapnya.
“Rokoknya selalu eksis ya...” kuraih rokok yang masih menyala di tangannya lalu kumatikan di dalam asbak.
“Dan kamu selalu saja bisa mengacaukannya...” dia tersenyum, tak kaget lagi dengan sikapku yang seperti itu.
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya.
“Sama saja seperti yang kamu pesan.” ujarku. Rasanya tak bernafsu untuk melihat menu, tak bernafsu untuk makan lebih tepatnya.
“Ada apa sih sebenarnya?” aku menggeleng.
“Yakin? Aku tahu, pasti ada sesuatu. Kamu nggak mau berbagi?”
“Everything is okey. Nggak ada apa-apa.” Aku tersenyum berusaha untuk meyakinkan.
“Kamu bukan nggak mau cerita kan? Tapi hanya belum mau cerita..” hening sejenak, aku tak menjawab.
“Bicarakan hal yang lain saja yaa..” Pintaku. Maka Langit tak banyak bertanya lagi meski aku tahu dari sorot matanya kalau ia cemas. Ia benar-benar membicarakan hal lain yang sebisa mungkin dapat membuatku tertawa. Dan aku seolah lupa dengan apa yang kualami hari ini sebelum bertemu dengannya. Ah, Langit, dia selalu saja bisa membuatku merasa nyaman, tenang, dan lapang.
Senja tiba. Langit pun mengantarkanku pulang ke rumah. Kami memilih untuk berjalan kaki melewati kompleks perumahan yang rimbun dengan pohon akasia di pinggir jalannya. Membiarkan kulit kami terkena sinar matahari yang tersisa sebelum ia kembali ke peraduan dengan siluet oranyenya.
“Mentari, aku lapar lagi nih. Kepengen makan mie rebus deh. Masakin dong.” pintanya dengan tampang manja saat tiba di depan rumahku.
“Hmmm…tapi nggak pake banyak komplain yaa. Kamu tinggal terima makan aja.” ujarku sambil mempersilahkan Langit masuk dan duduk di ruang tamu.
“Ya...kalo masih mentah aku komplainlaaah. Nanti kalo aku jadi kejang-kejang gimana??” ujarnya sambil mengacak-acak rambutku sebelum aku beranjak ke dapur.
“Kamu kok mendadak jadi lebay gini sih? Dasaaaar!” Aku mengernyitkan dahi. Orang ini, selalu saja bisa membuatku tersenyum, membuat segala kegundahan terasa begitu ringan untuk dilalui.
Aku kembali beberapa menit kemudian dengan semangkuk mie rebus rasa soto ayam kesukaannya. Namun tak kudapati Langit di ruang tamu. Kemana dia? Kuletakkan mie rebus yang masih panas itu di meja. Rasanya aku curiga kalau Langit sedang berusaha mencari tahu sesuatu. Aku bergegas menuju kamarku. Dan benar saja, Langit ada di sana dengan berkas-berkas hasil pemeriksaanku di tangannya. Aku tertegun. Kurasa, Langit sama terkejutnya dengan aku saat pertama kali membaca hasil pemeriksaan itu.
Kami berdua mematung. Tak ada kata yang dilontarkan. Hening. Hanya tatapan mata yang saling berpandangan seolah mampu mewakili apa yang ada di pikiran kami masing-masing. Aku tak sanggup lagi untuk melontarkan kata, tak mau air mata yang mulai menggenang ini tumpah ruah.
“Mentari, maaf aku nggak bermaksud lancang untuk...” Langit menghentikan kalimatnya saat aku meraih kertas-kertas yang ada di tangannya. Namun kertas yang hendak kurapikan itu justru berhamburan saat Langit menarik tubuhku dalam pelukannya.
“Aku takut, Langit...” air mataku mulai menetes membasahi baju Langit.
“Kamu bakalan baik-baik saja, Mentari. Kamu nggak perlu takut.” Langit membelai lembut rambut panjangku, berusaha menenangkan.
“Aku bakalan punya bekas jahitan operasi, Langit! Itu pasti bakalan jelek banget. Aku malu...” Aku mendadak kehilangan kepercayaan diri. Langit melepaskan pelukannya lalu menyeka air mataku.
“Kamu itu ngomong apa sih? Aku nggak peduli seperti apa bekas jahitan operasi kamu. Selama kamu bilang hati kamu buat aku, aku nggak akan kemana-mana. I promise, darl… ” Ia menggenggam tanganku erat. Memandangku dengan tatapan paling hangat yang ia punya.
“Tapi aku takut...aku takut ngejalanin semua proses ini...” mataku kembali berkaca-kaca membayangkan segala kemungkinan terburuk yang bisa saja kualami.
“Sudah...jangan terlalu banyak mikir yang aneh-aneh. Hidup itu cuma menjalani yang sudah digariskan. Takdir itu kuasa yang paling mutlak. Kamu nggak akan kenapa-kenapa. Cepet sembuh yaaa..” Langit mengecup keningku dan kembali menggenggam erat tanganku. Lantas menyandarkan kepalaku di bahunya yang bidang. Aku makin terisak dalam pelukannya, tak tahu lagi harus berkata apa. Hanya bisa berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan Langit untukku.
***
Waktunya tiba. Seorang dokter menyuntikkan sesuatu yang aku yakini sebagai obat bius. Aku langsung diserang rasa kantuk beberapa menit kemudian. Lampu besar yang ada di atas mataku perlahan mengecil dan lama-kelamaan tak terlihat. Semuanya gelap, dan aku tak tahu lagi apa yang selanjutnya terjadi.
Aku terbangun. Ada seseorang yang berdiri di depanku. Membelakangiku. Aku kenal punggung itu. Aku tahu siapa dia. Tapi kenapa ia perlahan berjalan menjauh?
“Langit, kamu mau kemana?” tanyaku yang berusaha bangkit dari tempat tidur. Ah, sial! Bekas jahitan operasi ini terasa sangat sakit sekali. Hey, kenapa Langit tak menjawabku? Ia terus saja berlalu dan menjauh.
“Langit!” teriakku. Akhirnya ia menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku dari tempatnya berdiri. Jarak kami cukup jauh. Dia tak berusaha mendekat dan tak juga mengucapkan sepatah kata pun. Namun aku tahu arti tatapan matanya itu. Ini seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Langit adalah lelaki yang nyaris sempurna. Ia berhak untuk hidup lebih baik. Ia berhak untuk mendapatkan rumah yang lebih layak sebagai tempat ia kembali pulang. Dan rumah itu bukan aku. Bukan aku yang pantas untuk menungguinya lagi di depan pintu. Aku cacat dengan bekas jahitan operasi yang nampak mengerikan ini. Aku tersenyum menatapnya. Seolah memberitahukan padanya kalau aku akan baik-baik saja sepeninggal ia pergi. Langit melangkah lagi, benar-benar pergi. Ia tak kembali setelah menutup rapat pintu ruangan tempat aku dirawat. Aku sendiri, di ruangan besar bercat hijau yang tiap sudutnya nampak kaku dan berbisik pelan menertawakanku..
Nyatakah ini kalau Langit benar-benar pergi? Lagi, air mataku tumpah ruah membasahi pipi. Aku benci menangis. Aku benci saat menjadi begitu melankolis. Maka kuputuskan untuk tidur saja. Berharap kalau sebenarnya ini semua hanyalah mimpi buruk yang tak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Maka aku meminta pada Tuhan dalam terpejam. Meminta kalau semua akan kembali normal saat aku kembali membuka mata, semoga tetap aku yang hanya akan ada dalam tatapan mata teduhnya, senyum indahnya, dan bijak katanya.
Aku terbangun dan kembali menatap ruangan besar bercat hijau di sekelilingku. Sudah pukul lima sore ternyata. Aku tertegun, tapi bukan karena menyadari betapa lama aku tertidur. Itu tidak penting. Rasanya aku ingin menangis bahagia saat melihat siapa yang menggenggam erat tangan kananku yang tidak diinfus. Ada Langit yang sedang tertidur pulas di sana. Aku mengusap lembut rambutnya yang hitam legam. Ia terbangun, tersenyum manis padaku meski wajahnya terlihat sangat lelah.
“Kamu tadi mimpi buruk ya? Tadi kamu mengigau saat tidur.”
“Mengigau apa? Mungkin kamu salah dengar. Kayaknya barusan kamu deh yang mengigau.” aku berkilah.
“Kamu terus saja memanggil namaku. Aku sampai ke-geer-an dibuatnya.”
“Kenapa kamu nggak ngebangunin aku biar aku berhenti memanggil namamu terus? Dalam mimpi pun rasanya aku capek manggilin kamu yang pura-pura tuli itu.” Langit mengacak-acak rambutku.
“Biar aja, aku sengaja. Kamu tampak cantik saat mengigau”
“Oh, Tuhaaaan…gombalan macam apa itu??? Aku mencubit perutnya. Kami berdua tertawa. Tahukah kamu Langit? Dibalik tawaku ini aku berharap dalam hati semoga kali ini bukan mimpi.
“Mentari....” wajahnya berubah serius seketika. Debar jantungku ikut menegang, takut kalau tawaku ini akan mendadak berubah jadi tangis membayangkan apa yang akan dikatakannya. Mungkin saja tawa ini cuma pembuka untuk menghiburku sebelum Langit meminta untuk pergi. Aku lantas terdiam, menunggu Langit melanjutkan kalimatnya.
“Aku nggak tahu ini waktu yang tepat atau nggak. Aku cuma mau bilang kalau aku nggak mau kehilangan kamu. Jadi, maukah kamu untuk tidak pernah pergi atau memintaku untuk pergi?” Langit mengeluarkan sebuah cincin perak dari saku celananya dan menyematkannya di jari manis kiriku. Cantik sekali. Aku sampai tak bisa berkata-kata dibuatnya.
Aku menatap matanya. Mencoba mencari kesungguhan di sana, dan aku menemukannya. Ya, hanya ada aku di teduh tatapan matanya, persis seperti yang aku minta. Aku kembali terpejam, takut kalau justru inilah yang sebenarnya mimpi yang akan hilang saat aku membuka mata. Tapi nyatanya, masih ada Langit di sana dan masih ada cincin yang melingkar di jari manisku. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Dan aku sangat bahagia. Aku tak perlu lagi menjawab. Langit sudah tahu apa jawabanku saat aku mengecup lembut bibirnya.
Aku sungguh bersyukur memiliki Langit. Langit yang tak pernah pergi meski aku tak bisa membiaskan pelangi. Langit yang tak pernah mengeluh saat aku nyaman bersembunyi di balik awannya yang kelabu. Langit yang tak pernah bosan, saat aku merengek lelah menyinari bumi dan memintanya untuk menurunkan hujan saja. Ia selalu ada. Dan dia nyata...
*Sebuah fiksi menjelang pagi di 24 Oktober oleh Puspa Rini