Copyright © ...Pecinta Kata dan Senja...
Design by Dzignine
Selasa, 21 September 2010

Rumah untuk Akasia di Bulan Juli


          
Aku kembali ke rumah dengan tampang kuyu dan lelah yang tak terkira setelah dua jam duduk di bus antarkota. Namun lelahku terkalahkan oleh marah yang membuat kepalaku serasa mau pecah. Aku tersenyum sekenanya tatkala ayah membukakan pintu. Di wajahnya terlihat keterkejutan melihat aku yang pulang tiba-tiba tanpa mengabari sebelumnya. Aku langsung bergegas menuju kamarku dan menutup rapat pintunya sebelum mendapat lontaran pertanyaan dari ayah.
            Aku langsung rebah di atas tempat tidur dan menyembunyikan kepalaku dibalik bantal. Lantas mulai menangis tanpa bersuara. Hanya ada air mata yang sejak perjalanan tadi aku tahan dan sukses membuat dadaku terasa sangat sesak.
     “Juli, kamu sudah makan atau belum?” terdengar suara ayah dari balik pintu kamarku. Aku terduduk sambil mengatur nafas agar suaraku tidak terdengar bergetar karena sedang menangis.
     “Sudah, Yah. Aku lelah. Mau istirahat saja.” ujarku berbohong. Padahal, lambungku mulai sakit karena belum terisi nasi dari pagi. Tapi aku tidak merasa lapar. Dan rasa sakit ini tak terasa apa-apa dibandingkan sakit yang tertoreh di hatiku. Aku merasa dikhianati hari ini.
            Bumi adalah lelaki yang setengah mati aku sayangi dan aku yakini sebagai tempat untukku kembali pulang. Tadi, aku bertemu dengannya sebelum bertolak pulang ke rumah. Kami menghabiskan sore dengan memandangi senja dari pantai di bagian utara Jakarta. Namun, senyumku tak lagi sama saat secara tak sengaja membaca sebuah pesan masuk di ponselnya. Aku terkejut mendapati kalimat-kalimat manis yang dikirimkan oleh seseorang yang pernah mengisi hatinya di masa lalu.
            “Apa maksudnya? Apa yang sebenernya sedang terjadi?” Mataku memerah, antara menahan tangis dan amarah. Bumi hanya terdiam. Pasrah. Seolah mengakui kalau ia merasa bersalah.
     “Kupikir hanya ada aku,” ujarku.
     “Memang hanya kamu. Selalu begitu.”
     “Lantas yang kamu lakukan di belakangku ini? Dengannya, saling canda berkirim kalimat mesra, kau sebut sebagai apa?” Senja nampak bersemburat merah. Persis seperti perasaanku yang marah.
     “Segala yang kamu baca, kadang tak serumit apa yang kamu pikirkan. Masih haruskah kau kuyakinkan kalau bagiku, kamu adalah dunia?”
            Aku pun pergi, meninggalkannya begitu saja yang sempat menahanku dengan tatapan yang mengiba. Rasanya sangat sakit, hingga aku tak mengerti lagi kalimat apa yang tepat untuk mendeskripsikannya. Ternyata, Bumi tak cukup dengan satu akasia. Ia memiliki akasia lain yang (mungkin) punya bunga lebih indah untuk tumbuh di tanahnya. Akasia lain yang tak gugur meski Bulan Juli sudah tiba.
            Aku kalut. Rasanya ingin berteriak sekencang yang aku bisa. Tapi  lidahku terlalu kelu untuk melakukan itu. Suaraku seolah tercekat kaku di kerongkongan, tak bisa aku lepaskan. Maka kuputuskan untuk pulang ke rumah. Dan di sinilah aku. Berakhir dengan mata sembap dengan ingatan menyakitkan yang sedang datang bertandang, tak kunjung mau hilang.
            Handphoneku berdering. Aku tahu itu Bumi karena kuberi ringtone yang berbeda. “Tak akan ada guna,”gumamku. Aku masih malas berbicara. Otak dan hatiku belum selaras. Rasanya masih panas. Ingin memaki seolah tak pernah peduli. Tapi aku tak bisa karena aku terlalu sayang pada Bumi. Maka kubiarkan diriku terpenjara dalam rasa sakit yang menyiksa. Ya, aku terperangkap dalam hujan lengkap dengan badai yang Bumi buatkan untukku. Hanya saja, kali ini nampaknya tak ada ada pelangi saat hujan sudah reda.
            Pertahananku lemah. Sudah lebih dari 20 panggilan yang sejak tadi kudiamkan. Aku mengangkatnya tanpa memulai bersuara. Tanpa diminta, Bumi yang memulainya. Ia meminta maaf dan menjelaskan apa yang kulihat dan kubaca di telepon genggamnya sore tadi. Ia mencoba meluruskan yang katanya hanya salah paham semata. Kubiarkan ia bercerita dengan kalimatnya yang setengah terbata. Berkali ia mengatakan bahwa hanya akulah akasianya dan selamanya akan tetap menjadi satu-satunya akasia yang tumbuh di tanahnya. Aku terdiam. Hanya berusaha menebak-nebak kalimat mana yang ia ucapkan dengan penuh keyakinan atau justru sebaliknya.
            “Saya sayang sama kamu, Juli. Mau bagaimana pun saya dimarahi, dibentak, dimaki, dijuteki, atau dimusuhi, saya tetap sayang sama kamu. Saya tahu kamu sedang gundah. Sulit untuk kamu percaya kalau sudah tidak ada apa-apa lagi antara saya dengan dia. Sudah ratusan hari kita bisa lewati sama-sama. Bahkan untuk masalah yang lebih rumit dari ini. Seperti ini, harusnya cuma seperti sebutir pasir di bawah telapak kaki. Kamu tahu, saya tak pernah pergi. Bahkan berpikir untuk melangkahkan kaki untuk menjauh dari kamu pun, tidak.” Bumi panjang lebar berusaha menjelaskan. Entah mengapa, sakit hatiku tetap saja betah. Ia tak mau berpindah.
            Pukul 2 pagi. Aku masih saja berperang dengan hatiku sendiri. Berusaha mengajaknya kembali sejalan dengan pikiran. Tapi sulit sekali. Tangisan yang tak kunjung henti sejak berjam-jam lalu, pikiran yang mulai mengambang tak tentu tujuan, pasti akan selalu berakhir dengan demam. Aku selalu begitu. Benar saja, mataku sembab, hidung tersumbat, kepala pening, lengkap dengan suhu tubuh yang makin meninggi. Aku pun tumbang saat ayam mulai berkokok bersahutan pukul 4 pagi.
            Aku terbangun pukul sebelas siang. Sial, suhu tubuhku belum kembali normal. Dan itu membuatku makin lemas karena terasa panas. Aku keluar kamar, memaksakan diri untuk bangun. Kulihat ayah sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Ia menatapku keheranan.
     “Kamu kenapa? Tampang berantakan, rambut awut-awutan, mata sembab. Ngaca deh, kamu seperti zombie.” Aku tersenyum simpul dan berjalan menuju kotak obat keluarga yang rasanya lebih mirip apotek mini saking banyaknya obat di sana. Setelah menemukan obat penurun panas yang aku cari, aku duduk di sebelah ayah lalu meminum obat yang kubawa.
     “Panas?” ayah meraba keningku setelah melihat nama obat yang aku minum.
     “Ya ampun, badan kamu panas banget! Hey, kamu kan belum makan, masa udah main minum obat aja. Makan dulu sana!” aku terdiam mendengar ucapan ayah. Bahkan untuk makan saja aku lupa. Lantas aku menertawakan diriku sendiri. Logika ku seolah mati suri. Hampir gila rasanya setiap mengingat penyebab pertengkaran kemarin sore. Rasanya aku ingin tidur lebih lama. Biar aku bisa lupa dengan semua rasa sakit yang kurasa saat aku terjaga.
            Aku kembali duduk di sebelah ayah membawa sepiring penuh makanan yang hendak kusantap. Ayah geleng-geleng kepala. Aku hanya cengengesan.
     “Kamu tuh lagi kenapa sih sebenernya?” aku tak menjawab, tetap melanjutkan makan pura-pura tak mendengar pertanyaan ayah.
     “Tadi malam ayah dengar kamu nangis sesenggukan loh jam 2 pagi.” Aku langsung tersedak. Sial. Padahal aku sudah berusaha memperkecil suara isakanku. Kukira ayah sudah tidur tadi malam.
     “Aaaah lagi akting itu, Yah. Biasalah, aku kan ikut klub teater di kampus. Sebentar lagi mau ada pementasan.” Aku berkilah asal yang disambut dengan gelak tawa ayah.
     “Liat aja tuh porsi makan kamu. Kamu kan kalo lagi banyak yang dipikirin pasti makannya berlebihan atau justru malah nggak makan sama sekali.” Aku tersenyum.
     “Ayah nggak akan tanya ada apa. Kamu sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahmu sendiri. Semoga cepat kembali baik ya,” ujar ayah sambil mengelus kepalaku.
            Aku kembali ke kamarku. Kutatap layar leptop yang screen saver-nya menampilkan foto Bumi dan beberapa foto kami. Aku mengutuki diriku sendiri yang begitu lemah karena merasa ingin menangis lagi. Aku seolah merasakan sayang dan benci yang menghujam secara bersamaan. Jadinya terasa begitu berantakan, tidak karuan.
            Kutinggalkan laptopku masih dengan slide foto kami yang terus berganti. Bumi tak lagi menghubungi sejak penjelasan panjang tadi malam. Mungkin ia merasa aku butuh jeda. Tapi entah kenapa aku merasa begitu kehilangan. Rasanya hati menjadi sepi. Alih-alih agar hatiku tenang, aku mendengarkan lagu dari ponselku. Ternyata aku salah. Hampir semua lagu di playlist ponselkuku punya kenangan tersendiri tentang aku dan Bumi. Hah! Rasanya hampir gila. Terlalu banyak hal yang mengingatkan aku pada Bumi. Terlalu banyak kisah yang sudah kami lewati. Dan terlalu pahit kalau itu harus aku akhiri.
            Aku kembali membaca semua pesan dari Bumi yang sudah ada ribuan di kotak masuk ponselku. Aku lama memandangi layarnya yang menampilkan pesan yang terakhir di kirim Bumi setelah kami berdebat lama tadi malam.
            Aku akan menunggu takdir menuntunmu pulang. Aku sayang kamu, Juli..
            Kubaca kalimat itu berulang kali. Aku pun tersadar kalau aku masih menyayangi Bumi. Bumi benar. Harusnya, ini hanyalah sebutir pasir di bawah telapak kaki yang dapat dengan mudahnya hilang tak berarti saat aku menginjakkan kaki.
            Peduli apa dengan sakit hati. Toh kami pernah sama-sama berjuang untuk bertahan dalam kesulitan hidup yang lebih berat daripada sekedar patah hati. Sepertinya aku memang terlalu melebihkannya saja. Aku tertawa, menyadari betapa aku seperti telah kehilangan kemampuan untuk berpikir secara dewasa.
            Aku termenung di balik jendela kamar sambil memandangi hujan yang membasahi rerumputan di halaman. Hujan. Bumi sangat suka pada hujan. Lagi, setiap hal selalu mampu mengingatkan aku padanya. Hujan ini misalnya. Ingatanku tanpa dipaksa me-recall memori dengan sendirinya. Lalu berhenti pada sebuah pintu yang berisi kenangan tentang bagaimana hujan pernah menahannya untuk tetap tinggal bersamaku. Bagaimana dari balik jendela kami memandangi hujan sampai berhenti sambil saling mengisi jemari. Ah, semesta seolah tak rela kalau aku harus meninggalkannya.
            “Tuhan, haruskah aku kembali?” aku mencoba mencermati maksud Tuhan lewat hujan yang ia turunkan. Setelah lama terdiam, senyumku pun akhirnya datang. Aku kembali mencoba mengajak hati dan pikiran untuk kembali berbincang, meminta mereka untuk kembali berjalan beriringan. Mungkin akan jadi keputusan yang berat karena rasa sakit itu masih jelas terasa. Namun aku memilih untuk berdamai dengan keadaan. Aku lelah menghadapi badai ini sendirian. Jadi biar saja nanti badai itu berlalu dengan sendirinya. Aku rasa itu jauh lebih baik dan lebih bijak.
            Aku adalah Juli, bulan di mana akasia menggugurkan daunnya. Namun aku tak akan pernah rela untuk menggugurkan akasiaku yang ada di tanah milik Bumi. Aku tak mau lagi peduli pada akasia lain yang selalu berusaha tumbuh di tanah yang sama denganku. Aku yakin, Bumi tak akan dengan mudahnya membiarkan. Jadi, tanpa perlu waktu yang lama, akasia lain pasti akan cepat mati dengan sendirinya. Karena hanya akulah, satu-satunya akasia yang tak akan gugur di tanah milik Bumi meski sudah bulan Juli. Maka tanpa ragu lagi, kukirimkan sebuah pesan untuk Bumi.
“Bumi, aku pulang....”




*ditemani awan yang mendung pada 21 September. Puspa Rini                

Jumat, 17 September 2010

Mentari dan Langit di September

Aku mengepak baju-bajuku. Memasukkan sekenanya ke dalam tas ransel yang aku punya. Kulihat ayah nampak memerhatikan dari jauh. Namun ia tidak berkata apa-apa. Ia seolah tahu tak akan ada hal yang bisa menghentikanku untuk pergi. Dan memang benar, aku memilih untuk pergi tanpa berkata apa-apa lagi dan berusaha untuk tidak menatap mata Ayah, terlebih lagi ada perempuan yang baru diperistri ayah 3 bulan lalu. Yeaaaks..melihatnya saja aku malas. Rasanya ingin kujambak-jambak rambutnya.
       Aku masih sangat ingat pertengkaran aku dengan ayah yang menjadi semakin sering frekuensinya sejak awal September ini. Dan pertengkaran itu memuncak pagi tadi. Ayah selalu bersikukuh dengan pandangannya sendiri terhadap suatu hal. Dan itu menurun padaku. Maka kami bertahan dengan ego kami masing-masing untuk meributkan hal yang mugkin kedengarannya sepele. Aku dan ayah menjadi tidak solid lagi sejak kehadiran perempuan yang katanya hanya sebagai pendamping ayah sepeninggal ibu yang tiada karena penyakit kanker rahimnya. Dari awal aku memang tidak setuju dengan pernikahan itu. Namun mengingat aku juga tidak bisa terus-terusan mendampingi dan mengurusi ayah karena aku punya kehidupan sendiri yang harus kukejar di luar kota, maka terpaksa kuizinkan. Ternyata itu justru mejadi bumerang. Mungkin karena aku tak suka padanya, maka apapun yang dilakukan perempuan itu selalu saja terlihat salah di mataku (tapi menurutku memang ia salah). Dan ayah selalu saja membela. Jadilah aku makin benci padanya.
           Setiap kali aku bertengkar dengan ayah, aku merasa sangat rapuh dan aku akan kembali teringat pada ibu. Dengan bodohnya aku akan menyesali kenapa ibu pergi secepat ini. Dan orang-orang akan mulai kembali mengingatkan aku untuk beristigfar dan mengikhlaskan kepergian ibu. Ibuku orang yang teramat sangat baik. Bukan cuma aku, teman-temannya pun mungkin masih sering menangis hingga saat ini jika mengingat kebaikannya. Ya, dia seperti malaikat yang dikirim Tuhan ke dunia. Mungkin karena terlalu baik, Tuhan takut dia terpengaruh kehidupan fana dunia, maka Tuhan cepat mengambilnya kembali.
          Jika sudah seperti ini, aku merasa sendiri dan sangat kesepian. Aku tahu aku punya Tuhan. Dia akan sangat bijaksana untuk mendengarkan semua cerita dan doa-doaku. Namun tetap saja hatiku terasa kosong. Aku butuh Langit, tempatku untuk kembali pulang. Cuma dia yang mengerti aku. Cuma dia yang sanggup menguatkan aku dan dengan sabarnya medengarkan semua ceritaku. Cuma dia.
“Langit, aku kabur dari rumah...” kukirimkan pesan itu ke nomornya. Lama tak ada balasan. Ah, mungkin ia sedang sibuk bekerja seperti biasanya.
“Tapi kamu ga perlu cemas. Aku baik-baik saja di Bandung.” Kukirimkan lagi pesan itu padanya. Sungguh aku tidak ingin menambah beban pikirannya yang aku tahu sedang banyak hal yang ia pusingkan.
             Aku membuka pintu rumah dan terdiam lama berdiri menatap isi rumah mungilku ini. Rasanya aku rindu sekali berada di sini, padahal baru seminggu aku pergi. Senyumku mengembang melihat sepasang ikan dalam akuarium yang diberikan Langit untukku. Mereka nampak kelaparan setelah seminggu tidak kuberi makan. Lantas aku pun mulai disibukkan dengan kegiatan membersihkan rumah yang mulai nampak berdebu di beberapa bagian, membuat rumah ini kembali menjadi rumah yang sangat “nyaman” untuk kutempati.
Malam menjelang. Sudah hampir pukul 10 malam dan aku tetap membiarkan perutku belum terisi makanan apapun sejak siang. Aku bahkan tak peduli jika sakit maag ku kambuh lagi. Aku teramat sangat malas untuk makan. Rasanya tak bernafsu. Aku hanya ingin diam dan bermalas-malasan memandangi layar televisi yang sedari tadi kuganti-ganti terus salurannya. Tidak jelas juga ingin menonton apa. 

Tok..tok..tok
“Haduh, siapa juga yang datang menjelang malam begini.” Gerutuku dalam hati, malas membuka pintu. Tadinya kubiarkan saja ketukan di pintu itu. Namun ketukan itu berulang berkali-kali. Dan aku tertegun saat aku tahu siapa yang berdiri di depanku saat pintu rumah kubuka.
“Selamat malam, Mentari. Mari kita bertukar cerita.” aku seketika merasa tenang melihat senyumannya.
“Langit....” ujarku pelan. Aku masih terheran mendapati Langit di hadapanku lengkap dengan sekotak pizza berukuran besar di tangannya.
“Aku tahu kamu pasti belum makan sejak tadi. Maaf sudah agak dingin pizzanya, aku bawa dari Jakarta.” aku terdiam sesaat. Tak bisa berkata lagi melihatnya. Hanya ingin memeluk dan berterima kasih pada Tuhan karena aku punya Langit. Langit yang tak pernah pergi saat hampir semua orang menyudutkan dan menyalahkan aku. Langit yang selalu menjadi tempatku untuk pulang, kembali ke pelukan.
            Menghangatkan pizza yang Langit bawa dengan microwave tak butuh waktu lama. Langit tak banyak bertanya. Ia membiarkan aku makan dengan lahap sambil mengelus kepalaku sesekali. Dan aku akan merasa sangat tenang. Merasa kembali kuat saat ia menggenggam erat tanganku meski tak ada kata yang terucap. Merasa kembali nyaman saat membiarkan aku menyandar di bahunya hingga tertidur pulas. Tapi kali ini aku tidak mau tertidur. Aku ingin puas memandangi matanya. Mata yang cukup letih karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan sendiri tanpa mau dibagi.
           Lewat tengah malam. Kami masih terduduk di ruang tamu dengan jemari yang saling menggenggam. Mematikan televisi. Mematikan lampu. Hening. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku tak mau mengganggu apa yang ia pikirkan. Tak mau juga bertanya meski banyak hal yang coba aku terka. Aku terdiam menunggunya bercerita. Bertukar cerita lebih tepatnya, seperti yang tadi ia katakan saat ia datang.
“Mentari..kamu sudah mengantuk?” tanyanya tiba-tiba yang kujawab dengan sebuah gelengan di kepala.
“Mau mendengarkan sebuah cerita?” aku mengangguk. Kembali hening sepersekian menit sampai akhirnya ia memulai ceritanya.
            Banyak hal yang ia ceritakan. Mungkin selama sepuluh tahun aku mengenalnya, malam ini adalah malam paling banyak aku mendengarnya bercerita. Ternyata apa yang ia pikirkan jauh lebih memusingkan dari masalah yang kualami. Pantas mata itu terlihat begitu letih. Aku bahkan ingin menangis mendengarnya bercerita. Bukan karena cerita yang diutarakan Langit sangat sedih. Bukan. Aku ingin menangis karena aku bangga pada Langit. Sangat bangga. Langit begitu tegar, bijaksana, dan sangat dewasa. Tapi aku tak mau Langit salah mengartikan air mataku. Maka kusimpan tangis penuh rasa banggaku itu. Aku tersenyum dan menciumi pipinya sesering mungkin. Berharap dia tahu kalau dia tidak sendiri, dia punya aku untuk melewati semua hal memusingkan yang menari-nari di pikirannya itu.
             Mendengar ceritanya, aku jadi tak peduli lagi dengan apa yang sedang kualami. Bahkan aku seolah lupa. Aku hanya ingin menggenggam jemari Langit sambil mendengarnya terus bercerita. Dan kami pun bercerita sampai pagi. Sampai hilang semua gundah. Sampai aku tertidur pulas di pelukannya.
           Aku terbangun lebih dulu dan dengan puasnya memandangi Langit yang masih tertidur pulas terduduk di kursi tamu. Aku larut dalam pikiranku sendiri. Tuhan seolah ingin mengingatkan aku pada masalahku melalui cerita Langit. Bahwa tidak seharusnya aku pergi dari rumah membawa semua keegoisan yang aku punya. Bahwa keluarga itu penting meski seperti apapun keadaan dan keberadaannya. Lantas kunyalakan hp yang sejak kemarin malam sengaja kumatikan supaya aku tidak bisa dihubungi oleh siapapun termasuk ayah. Saat hp ku kembali aktif, 13 sms mengantri untuk kubaca. Tiga sms dari Langit, dan sisanya dari ayah yang mengkhawatirkan keberadaanku meski usiaku sudah tidak lagi remaja. Aku jadi merasa begitu rindu dengan ayah. Namun aku tetap tak mau pulang karena tak ingin bertemu dengan perempuan pendamping ayah yang selalu jadi pemicu pertengkaran kami.
“Aku baik-baik saja. Hanya ingin sendiri beberapa saat. Aku di Bandung. Tak usah cemas. Aku sayang ayah.” kukirimkan pesan itu untuk ayah. Tanpa harus menunggu lama, ayah mengirimkan balasannya untukku, mengingatkan aku agar tidak lupa makan. Seketika aku tahu, kalau ayah begitu menyayangiku.
         Sungguh aku berterimakasih pada Tuhan. Berterimakasih untuk Langit yang Dia kirimkan padaku. Kukecup kening Langit dan Langit pun terbangun. Ia tersenyum. Aku tersenyum.
“Terima kasih, Langit...” bisikku di telinganya.
“Untuk apa?” tanyanya setengah tak mengerti.
“Untuk segalanya...terimakasih telah membuat Septemberku menjadi ceria..dan terima kasih untuk kesabaran yang luar biasa.” Langit tersenyum. Tak menjawab apapun. Ia hanya mengunci bibirku dengan bibirnya.


              Pertengahan September ini, rasanya menjadi begitu ringan karena aku tahu, aku punya Tuhan...dan aku punya Langit yang tak akan pernah bosan menjadi tempat Mentari untuk pulang.