Aku kembali ke rumah dengan tampang kuyu dan lelah yang tak terkira setelah dua jam duduk di bus antarkota. Namun lelahku terkalahkan oleh marah yang membuat kepalaku serasa mau pecah. Aku tersenyum sekenanya tatkala ayah membukakan pintu. Di wajahnya terlihat keterkejutan melihat aku yang pulang tiba-tiba tanpa mengabari sebelumnya. Aku langsung bergegas menuju kamarku dan menutup rapat pintunya sebelum mendapat lontaran pertanyaan dari ayah.
Aku
langsung rebah di atas tempat tidur dan menyembunyikan kepalaku dibalik bantal.
Lantas mulai menangis tanpa bersuara. Hanya ada air mata yang sejak perjalanan
tadi aku tahan dan sukses membuat dadaku terasa sangat sesak.
“Juli,
kamu sudah makan atau belum?” terdengar suara ayah dari balik pintu kamarku.
Aku terduduk sambil mengatur nafas agar suaraku tidak terdengar bergetar karena
sedang menangis.
“Sudah,
Yah. Aku lelah. Mau istirahat saja.” ujarku berbohong. Padahal, lambungku mulai
sakit karena belum terisi nasi dari pagi. Tapi aku tidak merasa lapar. Dan rasa
sakit ini tak terasa apa-apa dibandingkan sakit yang tertoreh di hatiku. Aku
merasa dikhianati hari ini.
Bumi
adalah lelaki yang setengah mati aku sayangi dan aku yakini sebagai tempat
untukku kembali pulang. Tadi, aku bertemu dengannya sebelum bertolak pulang ke
rumah. Kami menghabiskan sore dengan memandangi senja dari pantai di bagian
utara Jakarta. Namun, senyumku tak lagi sama saat secara tak sengaja membaca
sebuah pesan masuk di ponselnya. Aku terkejut mendapati kalimat-kalimat manis
yang dikirimkan oleh seseorang yang pernah mengisi hatinya di masa lalu.
“Apa
maksudnya? Apa yang sebenernya sedang terjadi?” Mataku memerah, antara menahan
tangis dan amarah. Bumi hanya terdiam. Pasrah. Seolah mengakui kalau ia merasa
bersalah.
“Kupikir
hanya ada aku,” ujarku.
“Memang
hanya kamu. Selalu begitu.”
“Lantas
yang kamu lakukan di belakangku ini? Dengannya, saling canda berkirim kalimat
mesra, kau sebut sebagai apa?” Senja nampak bersemburat merah. Persis seperti
perasaanku yang marah.
“Segala
yang kamu baca, kadang tak serumit apa yang kamu pikirkan. Masih haruskah kau
kuyakinkan kalau bagiku, kamu adalah dunia?”
Aku
pun pergi, meninggalkannya begitu saja yang sempat menahanku dengan tatapan
yang mengiba. Rasanya sangat sakit, hingga aku tak mengerti lagi kalimat apa
yang tepat untuk mendeskripsikannya. Ternyata, Bumi tak cukup dengan satu
akasia. Ia memiliki akasia lain yang (mungkin) punya bunga lebih indah untuk
tumbuh di tanahnya. Akasia lain yang tak gugur meski Bulan Juli sudah tiba.
Aku
kalut. Rasanya ingin berteriak sekencang yang aku bisa. Tapi lidahku terlalu kelu untuk melakukan itu.
Suaraku seolah tercekat kaku di kerongkongan, tak bisa aku lepaskan. Maka
kuputuskan untuk pulang ke rumah. Dan di sinilah aku. Berakhir dengan mata
sembap dengan ingatan menyakitkan yang sedang datang bertandang, tak kunjung
mau hilang.
Handphoneku
berdering. Aku tahu itu Bumi karena kuberi ringtone yang berbeda. “Tak akan
ada guna,”gumamku. Aku masih malas berbicara. Otak dan hatiku belum
selaras. Rasanya masih panas. Ingin memaki seolah tak pernah peduli. Tapi aku
tak bisa karena aku terlalu sayang pada Bumi. Maka kubiarkan diriku terpenjara
dalam rasa sakit yang menyiksa. Ya, aku terperangkap dalam hujan lengkap dengan
badai yang Bumi buatkan untukku. Hanya saja, kali ini nampaknya tak ada ada
pelangi saat hujan sudah reda.
Pertahananku
lemah. Sudah lebih dari 20 panggilan yang sejak tadi kudiamkan. Aku
mengangkatnya tanpa memulai bersuara. Tanpa diminta, Bumi yang memulainya. Ia meminta
maaf dan menjelaskan apa yang kulihat dan kubaca di telepon genggamnya sore
tadi. Ia mencoba meluruskan yang katanya hanya salah paham semata. Kubiarkan ia
bercerita dengan kalimatnya yang setengah terbata. Berkali ia mengatakan bahwa
hanya akulah akasianya dan selamanya akan tetap menjadi satu-satunya akasia
yang tumbuh di tanahnya. Aku terdiam. Hanya berusaha menebak-nebak kalimat mana
yang ia ucapkan dengan penuh keyakinan atau justru sebaliknya.
“Saya sayang sama kamu, Juli. Mau
bagaimana pun saya dimarahi, dibentak, dimaki, dijuteki, atau dimusuhi, saya
tetap sayang sama kamu. Saya tahu kamu sedang gundah. Sulit untuk kamu percaya
kalau sudah tidak ada apa-apa lagi antara saya dengan dia. Sudah ratusan hari
kita bisa lewati sama-sama. Bahkan untuk masalah yang lebih rumit dari ini.
Seperti ini, harusnya cuma seperti sebutir pasir di bawah telapak kaki. Kamu
tahu, saya tak pernah pergi. Bahkan berpikir untuk melangkahkan kaki untuk
menjauh dari kamu pun, tidak.” Bumi panjang lebar berusaha menjelaskan. Entah
mengapa, sakit hatiku tetap saja betah. Ia tak mau berpindah.
Pukul
2 pagi. Aku masih saja berperang dengan hatiku sendiri. Berusaha mengajaknya
kembali sejalan dengan pikiran. Tapi sulit sekali. Tangisan yang tak kunjung
henti sejak berjam-jam lalu, pikiran yang mulai mengambang tak tentu tujuan,
pasti akan selalu berakhir dengan demam. Aku selalu begitu. Benar saja, mataku
sembab, hidung tersumbat, kepala pening, lengkap dengan suhu tubuh yang makin
meninggi. Aku pun tumbang saat ayam mulai berkokok bersahutan pukul 4 pagi.
Aku
terbangun pukul sebelas siang. Sial, suhu tubuhku belum kembali normal. Dan itu
membuatku makin lemas karena terasa panas. Aku keluar kamar, memaksakan diri
untuk bangun. Kulihat ayah sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Ia
menatapku keheranan.
“Kamu
kenapa? Tampang berantakan, rambut awut-awutan, mata sembab. Ngaca deh, kamu
seperti zombie.” Aku tersenyum simpul dan berjalan menuju kotak obat
keluarga yang rasanya lebih mirip apotek mini saking banyaknya obat di sana.
Setelah menemukan obat penurun panas yang aku cari, aku duduk di sebelah ayah
lalu meminum obat yang kubawa.
“Panas?”
ayah meraba keningku setelah melihat nama obat yang aku minum.
“Ya
ampun, badan kamu panas banget! Hey, kamu kan belum makan, masa udah main minum
obat aja. Makan dulu sana!” aku terdiam mendengar ucapan ayah. Bahkan untuk
makan saja aku lupa. Lantas aku menertawakan diriku sendiri. Logika ku seolah
mati suri. Hampir gila rasanya setiap mengingat penyebab pertengkaran kemarin
sore. Rasanya aku ingin tidur lebih lama. Biar aku bisa lupa dengan semua rasa
sakit yang kurasa saat aku terjaga.
Aku
kembali duduk di sebelah ayah membawa sepiring penuh makanan yang hendak
kusantap. Ayah geleng-geleng kepala. Aku hanya cengengesan.
“Kamu
tuh lagi kenapa sih sebenernya?” aku tak menjawab, tetap melanjutkan makan
pura-pura tak mendengar pertanyaan ayah.
“Tadi
malam ayah dengar kamu nangis sesenggukan loh jam 2 pagi.” Aku langsung
tersedak. Sial. Padahal aku sudah berusaha memperkecil suara isakanku. Kukira
ayah sudah tidur tadi malam.
“Aaaah
lagi akting itu, Yah. Biasalah, aku kan ikut klub teater di kampus. Sebentar
lagi mau ada pementasan.” Aku berkilah asal yang disambut dengan gelak tawa
ayah.
“Liat
aja tuh porsi makan kamu. Kamu kan kalo lagi banyak yang dipikirin pasti
makannya berlebihan atau justru malah nggak makan sama sekali.” Aku tersenyum.
“Ayah
nggak akan tanya ada apa. Kamu sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahmu
sendiri. Semoga cepat kembali baik ya,” ujar ayah sambil mengelus kepalaku.
Aku
kembali ke kamarku. Kutatap layar leptop yang screen saver-nya
menampilkan foto Bumi dan beberapa foto kami. Aku mengutuki diriku sendiri yang
begitu lemah karena merasa ingin menangis lagi. Aku seolah merasakan sayang dan
benci yang menghujam secara bersamaan. Jadinya terasa begitu berantakan, tidak
karuan.
Kutinggalkan laptopku masih dengan slide
foto kami yang terus berganti. Bumi tak lagi menghubungi sejak penjelasan
panjang tadi malam. Mungkin ia merasa aku butuh jeda. Tapi entah kenapa aku
merasa begitu kehilangan. Rasanya hati menjadi sepi. Alih-alih agar hatiku
tenang, aku mendengarkan lagu dari ponselku. Ternyata aku salah. Hampir semua
lagu di playlist ponselkuku punya kenangan tersendiri tentang aku dan
Bumi. Hah! Rasanya hampir gila. Terlalu banyak hal yang mengingatkan aku pada
Bumi. Terlalu banyak kisah yang sudah kami lewati. Dan terlalu pahit kalau itu
harus aku akhiri.
Aku
kembali membaca semua pesan dari Bumi yang sudah ada ribuan di kotak masuk ponselku.
Aku lama memandangi layarnya yang menampilkan pesan yang terakhir di kirim Bumi
setelah kami berdebat lama tadi malam.
Aku
akan menunggu takdir menuntunmu pulang. Aku sayang kamu, Juli..
Kubaca
kalimat itu berulang kali. Aku pun tersadar kalau aku masih menyayangi Bumi.
Bumi benar. Harusnya, ini hanyalah sebutir pasir di bawah telapak kaki yang
dapat dengan mudahnya hilang tak berarti saat aku menginjakkan kaki.
Peduli
apa dengan sakit hati. Toh kami pernah sama-sama berjuang untuk bertahan dalam
kesulitan hidup yang lebih berat daripada sekedar patah hati. Sepertinya aku
memang terlalu melebihkannya saja. Aku tertawa, menyadari betapa aku seperti
telah kehilangan kemampuan untuk berpikir secara dewasa.
Aku
termenung di balik jendela kamar sambil memandangi hujan yang membasahi
rerumputan di halaman. Hujan. Bumi sangat suka pada hujan. Lagi, setiap hal
selalu mampu mengingatkan aku padanya. Hujan ini misalnya. Ingatanku tanpa
dipaksa me-recall memori dengan sendirinya. Lalu berhenti pada sebuah
pintu yang berisi kenangan tentang bagaimana hujan pernah menahannya untuk
tetap tinggal bersamaku. Bagaimana dari balik jendela kami memandangi hujan
sampai berhenti sambil saling mengisi jemari. Ah, semesta seolah tak rela kalau
aku harus meninggalkannya.
“Tuhan,
haruskah aku kembali?” aku mencoba mencermati maksud Tuhan lewat hujan yang
ia turunkan. Setelah lama terdiam, senyumku pun akhirnya datang. Aku kembali mencoba
mengajak hati dan pikiran untuk kembali berbincang, meminta mereka untuk
kembali berjalan beriringan. Mungkin akan jadi keputusan yang berat karena rasa
sakit itu masih jelas terasa. Namun aku memilih untuk berdamai dengan keadaan.
Aku lelah menghadapi badai ini sendirian. Jadi biar saja nanti badai itu berlalu
dengan sendirinya. Aku rasa itu jauh lebih baik dan lebih bijak.
Aku
adalah Juli, bulan di mana akasia menggugurkan daunnya. Namun aku tak akan
pernah rela untuk menggugurkan akasiaku yang ada di tanah milik Bumi. Aku tak
mau lagi peduli pada akasia lain yang selalu berusaha tumbuh di tanah yang sama
denganku. Aku yakin, Bumi tak akan dengan mudahnya membiarkan. Jadi, tanpa
perlu waktu yang lama, akasia lain pasti akan cepat mati dengan sendirinya.
Karena hanya akulah, satu-satunya akasia yang tak akan gugur di tanah milik
Bumi meski sudah bulan Juli. Maka tanpa ragu lagi, kukirimkan sebuah pesan
untuk Bumi.
“Bumi, aku pulang....”
*ditemani awan yang mendung pada 21 September. Puspa Rini