Copyright © ...Pecinta Kata dan Senja...
Design by Dzignine
Sabtu, 18 Juni 2011

Untuk Ayah

 

Entah mengapa, akhir-akhir ini aku begitu sering mengingat ayah yang tinggal terpisah jauh denganku. Tapi aku selalu saja enggan untuk memulai bertanya apakah ia baik-baik saja di sana. Kupikir, aku selalu menyebut namanya pada Tuhan dalam setiap doa. Jadi aku yakin, ia pasti baik-baik saja.           Namun, ada yang berbeda dari mengingat ayah kali ini. Entah mengapa rasanya ingin menangis dan segera pulang untuk memeluknya. Lagi-lagi, aku terlalu ragu untuk melakukannya. Mengingat “pulang” tak lagi kutujukan pada rumah besar bercat merah muda tempat ayah tinggal setelah ibu tiada.
           Tak banyak yang kuingat tentang aku dan ayah semasa aku balita. Yah, mungkin karena aku masih terlalu muda untuk memahami dan memaknai sesuatu pada waktu itu. Beranjak usia sekolah, aku ingat betul, tak ada yang bisa membangunkanku pagi hari selain ayah. Bahkan ibu kerapkali menyerah dan akhirnya memanggil ayah untuk membangunkanku. Bukannya aku tak mau dibangunkan ibu, aku sengaja menunggu ayah datang. Sebelum ia berangkat kerja, aku pasti akan merajuk manja. Aku baru mau bangun dan berangkat sekolah jika ayah menggendongku dari kamar tidur hingga tepat di depan pintu kamar mandi. Meski makin besar hal itu tak setiap hari kulakuan, tapi itu bertahan hingga aku kelas 6 SD! Haha..tertawalah..itu memang benar adanya :)

            Aku adalah anak perempuan ayah satu-satunya. Makin dewasa, aku jarang berkomunikasi dengan ayah. Mungkin karena banyak waktu yang ia habiskan untuk bekerja. Aku tak pernah mengeluh saat tak bisa pergi tamasya keluarga di hari libur karena ayah seringnya terlampau sibuk dengan rutinitasnya. Aku juga tak pernah marah saat ayah merasa tak perlu mendengarkan aku bercerita atau sekedar bertanya tentang kejadian apa yang kualami di sekolah, bagaimana teman-temanku, bagaimana perasaanku saat pertama kali mengikuti lomba menulis dan mendapatkan piala. Ya, ia tak pernah menanyakan hal sedetail itu seperti ibu. Ia hanya akan bertanya, pelajaran tambahan apa yang aku butuhkan? Mengapa aku lebih banyak membaca buku novel ketimbang buku pelajaran? justru hal-hal seperti itu yang sering terlontar dari bibirnya. Tapi aku cukup tau bahwa ia mencintaiku saat ia selalu menyempatkan mengantarku ke sekolah sebelum ia berangkat kerja. Ia yang paling khawatir saat aku sakit meski cuma demam biasa. Ia yang paling cemas jika aku mogok makan saat marah. Dan ia selalu menggenggam tanganku saat berjalan. Tak peduli dengan ibu yang seringkali memilih mengalah berjalan di belakang karena ayah sudah lebih dulu menuntunku erat.
            Makin dewasa, komunikasi aku dan ayah mulai kaku. Aku pun tak pernah berbagi cerita dengan ayah kecuali hal-hal yang sifatnya untuk jangka panjang, seperti saat menentukan aku akan melanjutkan kuliah kemana setelah lulus SMA. Aku masih ingat betul, mungkin itulah pertama kalinya aku dan ayah bertengkar hebat. Saat ayah memintaku masuk ke universitas X dan aku hendak ke universitas Y. Berhari-hari aku dan ayah tak bertegur sapa.  Membuat ibu hanya geleng-geleng kepala. Tapi pada akhirnya, ayah tetap menangis bangga saat tahu aku lulus SPMB dan diterima di universitas Y. Aku tak henti melihatnya tersenyum semalaman. Ah, rasanya seperti kau berhasil membawa pelangi ke hadapannya. Pelangi yang tak hanya terdiri dari tujuh warna mejikuhibiniu. Tapi ribuan warna, yang tak dapat terdeskripsikan rasa bahagianya. Aku mencintai ayah, dan rasanya tak ingin berhenti untuk terus membuatnya tersenyum bangga.
            Akupun merantau. Terpisah jauh dengan ayah dan ibu. Percayakah kamu, ayah jarang sekali menghubungiku entah itu telepon atau sms sekalipun. Bahkan ayah seringkali marah-marah pada ibu jika kedapatan sering menghubungi aku. Akhirnya ibu sering sembunyi-sembunyi jika ingin berbincang lama denganku di telepon. Akupun diminta ayah untuk tidak sering pulang ke rumah meski setiap akhir pekan aku tidak ada kerjaan di kosan. Ayah beralasan, tak ingin aku capek di jalan kalau hanya sekedar libur tiga hari. Aku terima saja tanpa banyak bertanya. Akhirnya bertahanlah aku sebagai anak rantauan yang baru pulang ke rumah saat lebaran tiba. Makin jarangnya aku berkomunikasi dengan ayah, makin terasa pula “jarak” antara aku dan ayah. Aku lebih nyaman dengan ibu. Ya, ibu sangat mengenal aku. Semuanya ia tahu. Hingga pada suatu ketika, akhirnya ibu bercerita tentang alasan ayah yang memintaku untuk tidak sering pulang dan membatasi ibu untuk tidak terlalu sering berkomunikasi denganku. Ayah hanya ingin aku tidak menjadi anak yang manja. Ia ingin aku bisa dewasa tanpa selalu bergantung pada orang tua. Meski ia tak pernah mendengarkan ceritaku, tak menanyakan kabarku, ia selalu bertanya pada ibu dan meminta pada ibu untuk tidak menyampaikan bahwa sebenarnya ia sangat rindu padaku. Sekali lagi aku tahu, ayah begitu mencintaiku. Lantas akupun mengirimkan sms pada ayah, mengatakan kalau aku menyayanginya. Ayah tak membalas apa-apa. Tapi dari ibu aku tahu, ayah menangis terharu membaca sms ku.
            Ibupun tiada tanpa pernah aku dan ayah duga. Aku tahu, ayah begitu kelimpungan menghadapi aku. Ia tidak tahu harus bagaimana berkomunikasi yang baik denganku. Ia tidak tahu apa kebiasaanku, apa yang aku suka, dan apa yang tidak aku suka. Ibu yang paling tahu dan ia tak sempat menanyakan itu pada ibu hingga akhirnya ibu telah lebih dulu ke surga. Ya, tinggal aku dan ayah, berdua. Bayangkan betapa canggungnya aku dan ayah berkomunikasi. Tapi aku dan ayah selalu mencoba untuk memahami satu sama lain, mencoba untuk dekat, dan aku mencoba bercerita seperti saat aku luwes bercerita pada ibu. Aku tau sangat berbeda rasanya. Banyak hal yang tak biasa dan terlalu sulit untuk dijadikan kebiasaan baru. Karena aku sudah terlalu candu bercerita pada ibu.
            Aku dan ayah, kami adalah dua manusia yang sama-sama keras kepala. Kami, seringnya berbeda pendapat dan tak ada yang mau mengalah. Tapi aku tetap sayang pada ayah, seperti aku tahu ayah juga sangat menyayangi aku. Ya, kami saling menyayangi dengan cara kami sendiri. Kami memiliki bentuk kedekatan yang berbeda dengan cara mencintai yang tak biasa. Jika bertemu pun, aku tak pernah sanggup menatap langsung matanya. Seringnya, aku menatap diam-diam saat ayah tak sadar kalu sedang aku perhatikan. Aku takut tak kuasa menahan tangis karena terlalu banyak cinta yang ia pancarkan dari matanya, untukku, hanya untukku saja setelah ibu tiada.
           Ayah akan terlihat sangat bahagia saat aku bercerita tentang Langitku padanya. Langit yang sedang bersiap untuk mengajakku tinggal di semestanya suatu hari nanti. Ayah tersenyum bangga, merasa aku akan bersama dengan orang yang tepat, yang mungkin bisa menjagaku lebih baik daripadanya. Tapi aku tahu, ayah menyimpan sedih dalam tawa itu. Sedih karena suatu saat nanti aku akan menetap di semesta bersama Langit, laki-laki yang kucintai setelah ayah. Aku tahu, ayah, mungkin kita tak banyak berkata dalam mengungkapkan cinta. Kita sudah terlalu cinta, hingga lewat tatapan matapun kita bisa saling mengerti makna dan bercerita.
Terpujilah engkau, ayah...engkau akan selalu ada dalam setiap doa..


 *Menjelang pagi saat merindukan hujan di bulan Juni